Sabtu, 18 Oktober 2008

CHARACTER BUILDING



PERAN PENDIDIK
DALAM ISLAMIC CHARACTER BUILDING


Rasulullah SAW selaku penyampai risala Islam yang mulia merupakan cerminan yang komprehensif untuk mencapai kesempurnaan sikap, prilaku, dan pola pikir. Bahkan sayyidah ‘Aisyah tatkala ditanya oleh beberapa sahabat mengenai pribadi Rasulullah SAW menyebutkan bahwa Rasulullah itu adalah Al-Qur’an berjalan. Artinya semua kaidah kehidupan yang ditetapkan islam melalui Al-Qur’an semuanya contoh sudah terdapat dan dijumpai dalam diri Rasulullah SAW. Beliau bukan hanya menjadi seorang nabi, tapi juga kepala negara. Beliau tidak cuma sekadar bapak tapi juga guru dengan teladan yang baik. Allah SWT sendiri telah memuji keluhuran pribadi Rasulullah SAW dalam ayat-NyA: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS.Al-Ahzab : 21)
Jaminan mardhatillah akan didapatkan oleh setiap orang yang bersungguh-sungguh menggali dan meneladani kepribadian Rasulullah. Selain itu jaminan keselamatan dan syafa’at saat hari kiamat akan diberikan Rasulullah. Jadi tidak ada keraguan lagi dan tidak akan memilih cara lain termasuk dalam menerapkan pola pendidikan selain yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Sosok Rasulullah SAW yang menjadi pendidik sukses bisa diakui tidak cuma kalangan dunia Islam namun juga dari komentar yang diberikan oleh kalangan Barat seperti Robert L. Gullick Jr. dalam bukunya Muhammad, The Educator menyatakan: “Muhammad merupakan seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar. Tidak dapat dibantah lagi bahwa Muhammad sungguh telah melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan Islam, suatu revolusi sejati yang memiliki tempo yang tidak tertandingi dan gairah yang menantang… Hanya konsep pendidikan yang paling dangkallah yang berani menolak keabsahan meletakkan Muhammad diantara pendidik-pendidik besar sepanjang masa, karena -dari sudut pragmatis- seorang yang mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran di antara pendidik”. Selain itu Michael Hart dalam bukunya 100 tokoh dunia meletakkan Rasulullah Muhammad di posisi pertama sebagai sosok paling berhasil dan tak tergantikan oleh sosok lainnya berkaitan dengan memimpin dan mendidik umat dalam kurun waktu singkat sehingga terwujud kehidupan yang mulia.
Wujud pendidik umat yang mampu membangun generasi islami dengan ciri yang melekat padanya berupa pola pikir dan pola jiwa yang islami sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah bisa ditinjau dari sifat seorang pendidik serta strategi pendidikan yang dimiliki pendidik. Jika kedua hal ini dipahami dengan benar dan diimplementasikan dengan istiqomah, niscaya generasi islami akan terwujud. Sifat Rasulullah memang yang paling khas adalah Shiddiq, Fathonah, Tabligh, dan Amanah. Namun secara spesifik untuk seorang pendidik, bisa dijumpai sifat yang dicontohkan Rasulullah SAW berikut ini :
Kasih Sayang. Wajib dimiliki oleh setiap pendidik sehingga proses pembelajaran yang diberikan menyentuh hingga ke relung kalbu. Implikasi dari sifat ini adalah pendidik menolak untuk tidak suka meringankan beban orang yang dididik.
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…” (QS.Al-Fath : 29)
Sabar. Bekal yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pendidik yang sukses. Keragaman sikap dan kemampuan memahami yang dimiliki oleh anak didik menjadi tantangan bagi pendidik. Terutama bagi anak didik yang lamban dalam memahami materi dibutuhkan kesabaran yang lebih dari pendidik untuk terus mencari cara agar si anak didik bisa setara pemahamannya dengan yang lainnya.
“Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS.Al-Baqoroh : 153).
Cerdas. Seorang pendidik harus mampu menganalisis setiap masalah yang muncul dan memberikan solusi yang tepat untuk mengembangkan anak didiknya merupakan wujud dari sifat cerdas. Kecerdasan yang dibutuhkan tidak cuma intelektual namun juga emosional dan spiritual.
Tawadhu’. Pantang bagi seorang pendidik memiliki sifat arogan (sombong) meski itu kepada anak didiknya. Rasulullah mencontohkan sifat tawadhu’ kepada siapa saja baik kepada yang tua maupun yang lebih muda dari beliau. Sehingga tidak ada jarang yang renggang antara pendidik dengan anak didik dan akan memudahkan pembelajaran dan memperkuat pengaruh baik pendidik kepada anak didik karena penghormatan.29. Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud[1406]. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
عن أنس بن مالك رض الله عنه مرّ صبيانٍ فسلّم عليهم وقال كان النبيّ صلى الله عيه وسلّم يفعله(HR.Bukhori)
Bijaksana. Seorang pendidik umat tidak boleh mudah terpengaruh dengan kesalahan bahkan oleh keburukan yang dihadapinya dengan bijaksana dan lapang dada sehingga akan mempermudah baginya memecahkan sebab-sebab permasalahan tersebut
Pemberi Maaf. Anak didik yang ditangani oleh pendidik umat tentunya tidak luput dari kesalahan maupun sikap-sikap yang tidak terpuji lainnya. Maka dari itu pendidik umat dituntut untuk mudah memberikan maaf meskipun ada sanksi yang diberikan kepada anak didik yang menjadi pelaku kesalahan sebagai bagian dari edukasi.
Kepribadian yang Kuat. Sanksi bisa jadi tidak diperlukan dalam mengedukasi anak didik jika seorang pendidik umat memiliki kepribadian yang kuat (kewibawaan, tidak cacat moral, dan tidak diragukan kemampuannya) sehingga memunculkan apresiasi dari anak didik, bukannya apriori. Sehingga secara otomatis bisa mencegah terjadinya banyak kesalahan dan mampu menanamkan keyakinan dalam diri anak
Yakin terhadap Tugas Pendidikan. Rasulullah dalam menjalankan tugas mengedukasi umat selalu optimis dan penuh keyakinan terhadap tugas yang diembannya. Patutlah jika pendidik umat juga memiliki sifat ini yaitu yakin usaha sampai, karena Allah SWT akan mempercepat pemberian terhadap manusia yang memiilki keyakinan tinggi terhadap keberhasilan setiap tugas yang dilakukan. Sesuai dengan hadits Qudsi bahwa Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya.
Sifat-sifat diatas menjadi bekal dan support bagi pendidik umat untuk berhasil dalam mengimplementasikan strategi yang disusunnya. Rasulullah sebagai pendidik memiliki strategi pendidikan yang penting diketahui. Strategi tersebut terdiri dari metode, aksi, dan teknik yang diperlukan dalam mendapatkan hasil yang maksimal untuk pendidikan islami. Metode yang dilakukan Rasulullah meliputi :
Spiritual-Mentality Building. Rasulullah meletakkan pondasi mental berlandaskan aqidah yang kuat terhadap kaum muslimin semasa itu. Karena jika pendidikan tidak dimulai dari dalam diri, maka apapun manifestasi pendidikan tersebut hanyalah manipulatiif. Pembentukan mental islam yang kuat akan menghindarkan anak didik dari penyakit hati seperti benci, dengki, buruk sangka, sombong, bohong, pesimis, dsb. Jika seseorang telah mampu mengeliminasi penyakit hati, maka orang tersebut berpotensi besar untuk sukses.
Applicable. Allah SWT tidak pernah memerintahkan keimanan kecuali disertai dengan tindakan nyata. Maka berawal dari kenyataan ini, Rasulullah SWT melakukan penguatan pengetahuan teoritis dengan aplikasi praktis. Sebab akan bisa didapatkan manfaat hakiki yang lahir dari aplikasi praktis terhadap pengetahuan teoritis tersebut.
“Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik” (QS.Ar-Ra’d : 29)
Balance in Capacity. Artinya sebagai seorang pendidik yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW adalah memberikan penugasan dan menjelaskan sesuatu sesuai dengan kemampuan dan pemahaman yang dimiliki oleh anak didik. Karena, tugas yang berlebihan akan menyebabkan seorang pendidik tersebut dijauhi dan tugasnya pun akan ditinggalkan. Metode ini sesuai dengan hadits Rasulullah
فاذا أمرتكم بشيء فاتوامنه مااستطعتم
“jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka tunaikanlah sesuai dengan kemampuan kalian (yang paling maksimal). (HR.Muslim no. 1307)
ما انت بمحدّث قوم حديثًا لاتبلغه عقولهم إلاّكان لبعضهم فتنةً
“ Kamu sekali-kali janganlah memberi penjelasan kepada suatu kaum, penjelasan yang tidak bisa dijangkau oleh akan mereka, kecuali ia akan menjadi fitnah bagi sebagian diantara mereka.”(HR.Muslim)
Right Treatment for Diversity. Pendidikan Islami memerlukan tindakan tepat terhadap keragaman anak didik. Keragaman tersebut bisa diklasifikasi berdasarkan demografi. Rasulullah memberi perlakuan berbeda dalam mendidik antara pria dengan wanita, antara orang badui dengan orang kota, antara orang yang baru masuk islam dengan yang sudah lama memeluk islam. Sehingga jika tepat dalam memberi perlakuan terhadap keragaman anak didik, apa yang disebut adil akan terwujud dari pendidik kepada anak didik.
Priority & Thing First Thing. Kemampuan untuk membuat prioritas dan memilah yang terpenting daripada yang penting sangat diperlukan untuk dimiliki oleh pendidik. Prioritas dan mendahulukan hal terpenting dalam proses pendidikan islami berarti menanamkan kebiasaan kepada anak didik bertindak efektif dan efisien. Efektif artinya melakukan sesuatu yang benar sedangkan efisien berarti melakukan sesuatu dengan benar.
إغتنم خمسًا قبل خمس حياتك قبل موتك وصحّتك قبل سقمك وفراغك قبل شغلك وشبابك قبل هرمك وغناك قبل فقرك
“Manfaatkan lima perkara sebelum (datang) lima perkara : masa hidupmu sebelum (datang) matimu, masa sehatmu sebelum (datang) masa sakitmu, masa senggangmu sebelum (datang) masa sempitmu, masa mudamu sebelum (datang) masa tuamu, dan masa kayamu sebelum (datang) masa miskinmu.” (GR. Tirmidzi)
Good Advice for Good Time. Pendidik umat harus mampu memberikan konseling kepada anak didik yang sedang dilanda masalah ataupun berbuat kesalahan fatal tanpa disadarinya. Ada yang perlu diperhatikan dalam pemberian nasehat/advice kepada anak didik yaitu kuantitas dan timing. Kuantitas maksudnya nasihat yang diberikan tidak banyak namun terkontrol dalam pelaksanaan pada anak didiknya. Jika terjadi pengabaian pada nasihat pertama, maka bisa kemudian diberi nasehat yang selanjutnya dan lebih berbobot. Lantas, mengenai waktu/timing penyampaian nasihat harus tepat. Pemilihan waktu yang tepat saat memberikan nasehat akan memberikan dampak perubahan yang luar biasa kepada anak didik.
Achievement Motivation.Motivasi berprestasi penting artinya dimasukkan dalam proses pendidikan islami karena mengandung dorongan positif yang kuat dari dalam diri manusia berefek pada sikap dan tindakannya mengarah pada hal yang positif pula. Sehingga kebajikan lebih dominan dan mampu melenyapkan keburukan sesuai dengan ayat Al-Qur’an :
“….Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk..”.(QS.Huud:114)
Coercive and Reward.Sanksi dan Penghargaan bisa dianggap sebagai upaya memotivasi anak didik. Ada kalanya anak didik berbuat baik karena takut dihukum dan ada yang memang menginginkan mendapat pujian dari gurunya. Sedangkan Rasulullah SAW mencontohkan mengedepankan penghargaan ketimbang sanksi karena Allah SWT mengutamakan menerima karena suka daripada karena takut. Menerima karena suka akan memunculkan kerinduan untuk melakukan apa yang diperintahkan dengan lapang dada.
Self-Evaluation. Rasulullah mengajarkan kepada kaum muslimin waktu itu dalam metode pendidikan yang beliau jalankan adalah evaluasi diri (muhasabah). Anak didik yang selalu diajak untuk melakukan evaluasi diri dalam keterlibatannya pada proses pendidikan islami akan memacu diri anak didik untuk melakukan perbaikan sehingga akan didapatkan peningkatan performance (kinerja) yang lebih baik lagi.
Sustainable Transfer.Pendidikan islami merupakan pembentukan diri dan prilaku yang tidak bisa didapatkan dalam waktu sekejap. Butuh kesinambungan proses baik transfer maupun control terhadap hasilnya. Proses pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah juga berjalan dalam jangka waktu yang tidak singkat. Waktu 13 tahun dihabiskan selama di Makkah dan dilanjutkan di Madinah di sisa usia beliau hingga kembali ke haribaan tidak pernah berhenti untuk terus dan terus mendidik umat.
Penjelasan singkat mengenai keteladanan Rasulullah SAW bagi pendidik umat bisa menjadi bekal untuk melakukan perbaikan mutu sikap dan pikir anak didik sesuai dengan syari’at Islam. Sebenarnya masih sangat luas sekali-hingga tak terhitung jumlahnya-,keteladanan yang diberikan Rasulullah SAW. Tapi sekali lagi, jika kita mau dan bertekad keras untuk memulai dari yang sedikit dulu namun istiqomah dan ada peningkatan bertahap kelak kemudian hari dari apa-apa yang telah dicontohkan Rasulullah, insya Allah akan menghasilkan kualitas anak didik yang tidak diragukan lagi kehandalannya.
KHATIMAH
Pembangunan dan pembentukan generasi islam berkualitas sebagaimana para sahabat, tabi’in, tabi’in-tabi’at dan ulama-ulama kenamaan merupakan bukti keberhasilan pola pendidikan islami. Generasi islam dinilai berkualitas apabila terbentuk pola pikir dan pola jiwa berlandaskan pada aqidah Islam yang kuat sehingga mampu mengintegrasikan keimanan dan kompetensi pada diri anak didik. Pola pendidikan islami sudah ada semenjak Rasulullah SAW hidup dan beliaulah yang meletakkan pondasinya dengan banyak keteladanan yang bisa diambil. Dengan dihasilkannya generasi islami juga akan didapati peradaban mulia seperti yang sudah tercatat dalam sejarah dunia tentang kegemilangan peradaban islam mengubah dunia dari kegelapan menuju pencerahan hakiki. Pendidikan islami mampu membuktikan janji Allah SWT dengan munculnya umat terbaik sesuai dengan ayat al-Qur’an :
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.(QS. Ali Imron : 110)
خير كم قرني ثمّالذين يلونهم ثمّ الذين يلونهم ثمّ الذين يلونهم
“Sesungguhnya yang terbaik dari kalangan kamu ialah sezaman denganku, kemudian orang yang hidup selepas zaman aku, setelah itu orang yang hidup selepas mereka”. (HR. Al-Bukhori no. 1496)
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Hafidz., Membangun Kepribadian Pendidik Umat, WADI Press, 2008Ahmed, Shabir., Anas Abdul Muntaqim., Abdul Satar., Islam dan Ilmu Pengetahuan, Penerbit Al-Izzah, 1999
Al-Baghdadi, Abdurrahman., Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, Penerbit Al-Izzah, 1996
Asari, Hasan., Menyingkap Zaman Keemasan Islam : Kajian Atas Lembaga-Lembaga Pendidikan, Mizan, 1994
Hizbut Tahrir Indonesia, Membangun Generasi Berkualitas Dengan Perspektif Islam, 2003
Hizbut Tahrir Indonesia, Generasi Cerdas, Generasi Peduli Bangsa : Solusi Tuntas Krisis Kepemimpinan, Proceedings Lokakarya Pendidikan Nasional, Jakarta, 2004
Lukman, H. Fahmy. Syariat Islam dalam Kebijakan Pendidikan, www.icmimuda.org, 2006
Yasin, Abu., Strategi Pendidikan Negara Khilafah, Pustaka Thariqul Izzah, 2004

Pendidikan


Metode Pendidikan Rosulullah


Era globalisasi seakan tidak bisa dibendung lajunya memasuki setiap sudut negara dan menjadi sebuah keniscayaan. Era ini menghendaki setiap negara beserta individunya harus mampu bersaing satu sama lain baik antar negara maupun antar individu. Persaingan yang menjadi esensi dari globalisasi tak jarang memiliki pengaruh dan dampak yang negatif pula jika dicermati dengan seksama. Pengaruh yang ada dari globalisasi pada aspek kehidupan meskipun awal tujuannya diarahkan pada bidang ekonomi dan perdagangan serta memberikan dampak multidimensi. Globalisasi memang menjadi lokomotif perubahan tata dunia yang tentu saja akan menarik gerbong-gerbongnya yang berisi budaya, pemikiran maupun materi.Bidang pendidikan pun juga tidak luput dari efek yang ditimbulkan dari globalisasi. Isu yang digulirkan untuk pendidikan adalah kompetensi bagi setiap individu yang terlibat dalam proses pendidikan maupun keunggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh institusi pendidikan. Jika dilihat sekilas, muatan nilai yang terdapat dalam agenda globalisasi nampak universal dan tidak memiliki dampak negatif. Namun jika ditelaah standard kompetensi dan keunggulan kompetitif yang seperti apa inilah yang perlu dicermati dengan seksama.
Faktanya, standard tersebut tampak di permukaan ditentukan oleh dunia internasional melalui lembaga internasional semacam UNESCO atau yang sejenis dan menjadi sebuah kesepakatan dunia, akan tetapi ada sisi gelap yang belum terkuak yaitu pihak perumus standard tersebut adalah negara Eropa dan Amerika. Bagi kalangan masyarakat awam, kedua kawasan (Eropa dan Amerika) tersebut masih relevan menjadi kiblat peradaban modern dan mapan. Dikatakan demikian karena penampakan yang ada dan diopinikan dengan sistematis bahwa Amerika dan Eropa telah berhasil menjadi negara yang unggul dibandingkan negara lainnya dan menampakkan gambaran kesejahteran dan kemakmuran yang dirasakan oleh setiap orang yang berada di kawasan tersebut.
Pandangan akan kemilau keberhasilan Amerika dan Eropa membangun peradaban modernnya yang didalamnya juga terdapat pola pendidikan diasumsikan terbaik tidak hanya bagi masyarakat awam. Negara-negara di dunia ketiga yang notabene banyak diantaranya adalah negeri-negeri muslim silau dengan keberhasilan pendidikan di kedua kawasan tersebut dan menjadikannya benchmark / patokan untuk pengembangan pendidikan di negaranya masing-masing.
Perlu diketahui bersama, sisi gelap dalam pola pendidikan yang dirumuskan oleh Amerika dan Eropa yaitu tidak adanya muatan nilai ruhiyah, dan lebih mengedepankan logika materialisme serta memisahkan antara agama dengan kehidupan yang dalam hal ini sering disebut paham Sekulerisme. Implikasi yang bisa dirasakan namun jarang disadari adalah adanya degradasi moral yang dialami oleh anak bangsa. Banyak kasus buruk dunia pendidikan yang mencuat di permukaan dimuat oleh beberapa media massa cukup meresahkan semua pihak yang peduli terhadap masa depan pendidikan bangsa yang lebih baik.
Ambillah contoh, baru-baru ini seluruh pelajar SMA di Indonesia melangsungkan Ujian Akhir Nasional. Standard kelulusan yang ditetapkan Mendiknas tiap tahunnya dinaikkan mulai dari 3,00 pada tahun 2003 hingga 5,25 pada 2008 ini. Penetapan standard ini sebagai implementasi penyetaraan kompetensi pelajar Indonesia dengan pelajar Internasional. Tapi di tataran praktik, banyak terjadi fenomena paradoks dan fakta yang ironis. Seperti anak yang dikenal pintar ternyata tidak lulus UAN dengan berbagai alasan, belum lagi variasi kecurangan selama UAN berlangsung yang ternyata tidak dominasi pelajar tapi juga sampai pada jajaran guru dan sekolah untuk mengelabui dan mengejar standard kelulusan.(JawaPos, 23/04/2008)
Juga, Indonesia diketahui sebagai negara pada urutan ketujuh dunia sebagai negara pengakses situs-situs porno. Lebih jauh lagi, dibahas didalamnya ternyata sebagai pengakses situs porno dari Indonesia dari kalangan pelajar. Prosentase terbesar diduduki oleh pelajar SMA sejumlah 38% diikuti oleh mahasiswa sebesar 33,6% dan ternyata dari kalangan siswa SMP juga menjadi pengakses situs porno17,3% sisanya sebesar 11% ditempati oleh masyarakat non pelajar.
Kasus parah lainnya yang tampak sebagai indikator degradasi moral dalam pandangan umum adalah tawuran yang sering dilakukan di kalangan pelajar ternyata juga merambah di kalangan mahasiswa. Padahal jika memandang secara idealnya, seharusnya semakin tinggi jenjang pendidikan yang dilalui oleh anak didik semestinya yang bersangkutan mengedepankan etika dan logika-rasional akademisi. Maksudnya mahasiswa sebagai insan pendidikan yang menjalani jenjang tertinggi tidak seharusnya terbawa emosi sehingga berujung pada tawuran. Peristiwa yang sering terjadi di kota Jakarta, maupun Makassar, Medan, Palu itu yang tampak, mungkin akan banyak lagi yang belum terjangkau liputan media massa sehingga tidak tampak di permukaan.
Beberapa contoh kasus diatas merupakan efek negatif dari pola pendidikan yang diadopsi Indonesia dari negara acuannya yaitu Eropa dan Amerika. Dikatakan berefek negatif karena ditinjau secara kebijakan makro, pendidikan Barat tidak lepas dari kerangka berpikir pada ideologi kapitalisme. Padahal sudah banyak dikupas habis banyaknya kelemahan dan keburukan pada ideology kapitalisme sebagai buah tangan manusia. Sedangkan jika ditinjau secara mikro, permasalahan tidak adanya link and match antara materi yang didapatkan di bangku sekolah dengan realitas yang ada di lapangan. Sehingga anak didik sering mengalami kebingungan sesuai menyelesaikan masa studi dan mulai memasuki masyarakat. Lulusan institusi pendidikan belum sempat menentukan langkah sudah tenggelam dengan hiruk pikuknya tata kehidupan materialistik.
Selain itu, esensi materi pendidikan yang distandardisasi (baca : ditiru) dari Barat bermuatan budaya dan pemikiran yang tidak sesuai dengan syari’at Islam. Indikasi yang bisa dijumpai, masih diajarkannya teori evolusi Darwin tanpa diimbangi dengan pemahaman Islam terhadapnya. Hukum kekekalan massa pada fisika yang juga semestinya dinilai secara kritis dalam pandangan Islam oleh gurunya. Belum lagi pelajaran yang berkaitan dengan sosial-ekonomi yang bisa dikatakan sekitar 85% tidak sesuai dengan Syari’at Islam. Ditambah lagi mata pelajaran agama yang diajarkan di sekolah maupun pendidikan tinggi cuma +2 jam dalam seminggu. Itupun materi ajarnya ‘menjenuhkan’ artinya dari mulai Sekolah Dasar hingga Pendidikan Tinggi pembahasannya berputar permasalahan ibadah mahdloh seputar thoharoh, sholat dan shuam. Sedangkan permasalahan interaksi manusia (muamalat) hampir tidak ada sama sekali.
Derasnya serangan tsaqofah Barat seperti sikap hedonistik dengan implikasinya berupa gaya hidup hura-hura, konsumeristik, rakus, boros, cinta mode, pergaulan bebas, individualistik, kebebasan yang salah arah dan lepas kendali serta tampilan pada anak didik sebagai generasi permisif dan anarkis yang telah disebutkan diatas secara eksplisit wujudnya. Serangan tersebut berakibat pada pengaruh dan peran pendidik umat (guru) menurun drastic sehingga pendidik umat secara perlahan-lahan kehilangan kewibawaan dan keteladanan di tengah-tengah anak didik.
Akhirnya kita dihadapkan pada perkara inti yaitu bagaimana gambaran pola pendidikan Islam ? bagaimana pula sosok pendidik umat yang dibutuhkan untuk membangun kepribadian Islam pada anak didik kaum muslimin?. Pertanyaan ini akan mudah untuk dijawab jika kita memiliki pedoman yang jelas dan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah serta ber-azzam (bertekad kuat) untuk menggali dan mengeksplorasi khazanah Islam sebagai fundamendal pendidikan generasi muda yang handal. Karena sungguh didalam Al-Qur’an Sunnah telah dijelaskan dengan mendalam segala aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan. Maka dari itu penulis mencoba akan menguraikan pada penjelasan berikut ini.
ARAH DAN PILAR PENDIDIKAN ISLAM
Kerusakan yang lama ada pada pola pendidikan di negara Barat sepatutnya ditinggalkan oleh kaum muslimin. Kerusakan tersebut timbul dikarenakan tidak adanya muatan ruhiyah dalam penelitian dan pengembangan sains dan teknologinya. Sehingga dampak yang bisa dirasakan, pola pendidikan tersebut menghasilkan output berpikir dan bersikap berdasarkan pada prinsip materialisme dengan menanggalkan prinsip syari’at Islam. Dari sinilah problem sosial kemasyarakatan muncul dan kerusakan tatanan kehidupan. sebagaimana telah disitir dalam ayat berikut ini
“ Telah nyata kerusakan didaratan dan dilautan oleh karena tangan – tangan manusia “. (Ar- Rum : 41).
Segala urusan dunia jika solusinya diserahkan pada hasil pemikiran manusia tanpa melibatkan hukum-hukum Allah didalamnya, maka solusi tersebut tidak bisa menuntaskan masalah. Sehingga yang terjadi adalah fenomena tambal sulam ataupun gali lubang, tutup lubang atas masalah yang ada. Maka dari itu jika ingin menyelesaikan masalah tanpa masalah termasuk pendidikan harus berujung pangkal pada Islam.
Islam diturunkan Allah SWT melalui Rasulullah Muhammad tidak sekadar melakukan perbaikan akhlaq. Namun lebih jauh lagi, turunnya Islam menjadi penyempurna dari semua agama yang ada dan memuat semua tata aturan kehidupan secara paripurna. Islam menjelaskan aturan mulai dari masuk kamar mandi hingga masuk parlemen, mulai dari menegakkan sholat hingga menegakkan Negara Islam. Demikian pula, Islam menjelaskan secara total bagaimana kaidah pendidikan sesuai dengan Khitab As-Syaari’. Jadi sangat disayangkan jika kaum muslimin berpaling dari Islam malah meniru total pendidikan ala Barat karena silau dengan kemajuannya.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqoroh : 208)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata”(QS.Al-Ahzab : 36)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS.An-Nisa’: )
Sepanjang sejarah dunia, Islam telah terbukti mampu membangun peradaban manusia yang khas dan mampu menjadi pencerah serta penerang hampir seluruh dunia dari masa-masa kegelapan dan kejayaannya +13 abad lamanya. Factor paling menentukan atas kegemilangan Islam membangun peradaban dunia adalah keimanan dan keilmuannya. Tidak ada pemisahan ataupun dikotomi atas kedua factor tersebut dalam pola pendidikan yang diterapkan. Sehingga generasi yang dihasilkan juga tidak diragukan kehandalannya hingga kini.
Sebut saja tokoh Ibnu Sina sebagai sosok yang dikenal peletak dasar ilmu kedokteran dunia namun beliau juga faqih ad-diin terutama dalam hal ushul fiqh. Masih ada tokoh-tokoh dunia dengan perannya yang penting dan masih menjadi acuan perkembangan sains dan teknologi berasal dari kaum muslimin yaitu Ibnu Khaldun(bapak ekonomi), Ibnu Khawarizm (bapak matematika), Ibnu Batutah (bapak geografi), Al-Khazini dan Al-Biruni (Bapak Fisika), Al-Battani (Bapak Astronomi), Jabir bin Hayyan (Bapak Kimia), Ibnu Al-Bairar al-Nabati (bapak Biologi) dan masih banyak lagi lainnya. Mereka dikenal tidak sekadar paham terhadap sains dan teknologi namun diakui kepakarannya pula di bidang ilmu diniyyah.
Kalau begitu pola pendidikan seperti apa yang mampu mencetak generasi islam berkualitas sekaliber tokoh-tokoh dunia tersebut? Penting kiranya menyatukan persepsi tentang pendidikan sesuai kaidah Syara’. Hakekat pendidikan adalah proses manusia untuk menjadi sempurna yang diridhoi Allah SWT. Hakikat tersebut menunjukkan pendidikan sebagai proses menuju kesempurnaan dan bukannya puncak kesempurnaan, sebab puncak kesempurnaan itu hanyalah ada pada Allah dan kemaksuman Rasulullah SAW. Karena itu, keberhasilan pendidikan hanya bisa dinilai dengan standar pencapaian kesempurnaan manusia pada tingkat yang paling maksimal. Setelah diketahui hakikat pendidikan maka berikutnya bisa dirumuskan tujuan dari pendidikan Islam yang diinginkan yaitu :
Membangun kepribadian islami yang terdiri dari pola piker dan pola jiwa bagi umat yaitu dengan cara menanamkan tsaqofah Islam berupa Aqidah, pemikiran, dan perilaku Islami kedalam akal dan jiwa anak didik. Karenanya harus disusun dan dilaksanakan kurikulum oleh Negara.
Mempersiapkan generasi Islam untuk menjadi orang ‘alim dan faqih di setiap aspek kehidupan, baik ilmu diniyah (Ijtihad, Fiqh, Peradilan, dll) maupun ilmu terapan dari sains dan teknologi (kimia, fisika, kedokteran, dll). Sehingga output yang didapatkan mampu menjawab setiap perubahan dan tantangan zaman dengan berbekal ilmu yang berimbang baik diniyah maupun madiyah-nya.
Kedua tujuan dari pola pendidikan Islam bisa terlaksana jika ditopang dengan pilar yang akan menjaga keberlangsungan dari pendidikan Islam tersebut. Pilar penopang pendidikan Islam yang dibutuhkan untuk bekerja sinergis terdiri dari :
Keluarga
Dalam pandangan Islam, keluarga merupakan gerbang utama dan pertama yang membukakan pengetahuan atas segala sesuatu yang dipahami oleh anak-anak. Keluarga-lah yang memiliki andil besar dalam menanamkan prinsip-prinsip keimanan yang kokoh sebagai dasar bagi si anak untuk menjalani aktivitas hidupnya. Berikutnya, mengantarkan dan mendampingi anak meraih dan mengamalkan ilmu setingggi-tingginya dalam koridor taqwa. Jadi keluarga harus menyadari memiliki beban tanggung jawab yang pertama untuk membentuk pola akal dan jiwa yang Islami bagi anak. Singkatnya, keluarga sebagai cermin keteladanan bagi generasi baru. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda :
كلّ مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصّرانه أو يمجّسانه
“Setiap anak dilahirkan atas fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak itu beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)
رضى الرّبّ في رضى الوالدوسخط الرّبّ في سخط الولد
“Ridho Tuhan terletak pada ridho orang tua, demikian juga kemurkaan Tuhan terletak pada kemurkaan orang tua.” (HR.Al-Bukhori no.6521)
Masyarakat
Pendidikan generasi merupakan aktivitas yang berkelanjutan tanpa akhir dan sepanjang hayat manusia. Oleh karena itu, pola pendidikan Islam tidak berhenti dan terbatas pada pendidikan formal (sekolah), namun justru pendidikan generasi Islami yang bersifat non formal di tengah masyarakat harus beratmosfer Islam pula. Kajian tsaqofah islam serta ilmu pengetahuan dan sarana penunjangnya menuntut peran aktif dari masyarakat pula. Ada beberapa peran yang bisa dimainkan masyarakat sebagai pilar penopang pendidikan generasi islami yaitu sebagai control penyelenggaraan pendidikan oleh negara dan laboratorium permasalahan kehidupan yang kompleks.
خذاالحكمة ممن سمعتموها فانه قديقول الحكمة غير الحكيم وتكون الرمية من غير رام
“Ambillah hikmah yang kamu dengan dari siapa saja, sebab hikmah itu kadang-kadang diucapkan oleh seseorang yang bukan ahli hikmah. Bukankah ada lemparan yang mengenai sasaran tanpa disengaja?” (HR. Al-Askari dari Anas ra dalam kitab Kashful Khafa’ Jilid II, h.62))
العلم ضالة المؤمن حيث وجده أخذه
Hikmah laksana hak milik seorag mukmin yang hilang. Dimanapun ia mejumpainya, disana ia mengambilnya (HR. Al-Askari dari Anas ra)
Madrasah
Tempat untuk mengkaji keilmuan lebih intensif dan sistematis terletak pada Madrasah. Semasa Rasulullah SAW, masjid-masjid yang didirikan kaum muslimin menjadi lembaga pendidikan formal bagi semua manusia. Didalamnya tidak semata-mata membahas ilmu diniyah, namun juga ilmu terapan. Rasulullah menjadikan masjid untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam, tapi penyusunan strategi perang pun juga seringkali dilakukan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabat didalam masjid. Sedangkan dimasa modern saat ini pendidikan bisa dialihkan yang semula masjid ke tempat dengan fasilitas yang menunjang dalam proses pembelajaran lebih efektif baik itu sekolah maupun perguruan tinggi. Hal ini sah-sah saja dan tidak bisa dianggap sebagai upaya memisahkan anak didik dari masjid.
Peradaban Islam mengalami puncak kegemilangan pada saat Bani Abbasiyah memegang tampuk kekuasaan dalam system pemerintah Khilafah Islamiyah. Sepanjang pemerintahan Khilafah Abbasiyah, perhatian sangat besar diberikan pada pengembangan ilmu pengetahuan dengan pola pendidikan islami. Sejarah mencatat berdirinya Bait Al-Hikmah sebagai madrasah dengan jenjang pendidikannya yang sistematis. Bait Al-Hikmah dibangun oleh Khalifah Al-Ma’mun yang dikenal sebagai khalifah pencinta ilmu pengetahuan. Dari Bait Al-Hikmah inilah lahir tokoh-tokoh muslim ternama yang telah disebutkan sebelumnya. Juga Bait Al-Hikmah lah menjadi mercusuar ilmu pengetahuan yang didatangi oleh semua orang dari segala penjuru dunia termasuk Barat. Dan munculnya Renaissance di Eropa terjadi setelah banyak orang Eropa menggali ilmu pengetahuan dari bait Al-Hikmah.
Sistematika pendidikan islam yang bisa diterapkan dalam madrasah dikelompokkan secara berjenjang (marhalah) yang harus memperhatikan fakta anak didik di setiap tingkatan. Tentunya bobot yang diberikan disetiap tingkatan memiliki komposisi yang berbeda namun proporsional. Sedangkan keberhasilan sistematika pendidikan islami yang ada pada madrasah tergantung pada para tenaga pendidiknya. Perkembangan sikap dan pemahaman yang terdapat pada anak didik merupakan tanggung jawab terbesar pada para tenaga pendidik. Lebih dari itu, syakhsiyah Islamiyah yang dicita-citakan pada anak didik menjadi sempurna apabila para tenaga pendidiknya lebih dahulu memiliki syakhsiyah islamiyah tersebut dan mampu meningkatkan secara berkelanjutan. Madrasah meletakkan harapan besar kepada para tenaga pendidik untuk memberikan proses yang tidak sekadar transfer of knowledge tapi juga cultivate of spirit and value. Maka dari itu arti guru yaitu digugu dan ditiru benar-benar bisa terlaksana dan terjaga dengan baik.
Negara
Negara sebagai pilar penopang bisa mewujudkan pola pendidikan Islami akan lebih optimal, efektif dan sempurna jika didukung dengan semua kebijakan yang dikeluarkan terhadap aspek kehidupan ini berlandaskan syari’at Islam. Peran yang bisa diambil oleh Negara dalam mewujudkan pola pendidikan Islami diantaranya :
Menyusun kurikulum berdasarkan aqidah islam untuk semua institusi pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi). Filterisasi terhadap paham-paham sesat dan menyesatkan bisa dijalankan melalui standar kurikulum Islami. Sehingga harapannya tidak lagi masuk di materi sekolah tentang teori Darwin, ekonomi ribawi, serta filsafat liberal-sekuler dan lainnya yang tidak sesuai dengan Aqidah Islam.
Seleksi dan kontrol ketat terhadap para tenaga pendidik. Penetapan kualifikasi berupa ketinggian syakhsiyah islamiyah dan kapabilitas mengajar. Jika sudah didapatkan tenaga pendidikan yang sesuai kualifikasi, negara harus menjamin kesejahteraan hidup para tenaga pendidik agar mereka bisa focus dalam penelitian dan pengembangan ilmu bagi anak didik dan tidak disibukkan aktivitas mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Menyajikan content pendidikan dengan prinsip al Fikru lil Amal (Link and Match / ilmu yang bisa diamalkan). Artinya jangan sampai isi materi pendidikan tidak membumi (tidak bisa diterapkan) sehingga tidak berpengaruh dan tidak memotivasi anak didin untuk mendalaminya.
Tidak membatasi proses pendidikan dengan batasan usia dan lamanya belajar. Karena hakekat pendidikan adalah hak setiap manusia yang harus dipenuhi oleh Negara. Allah mengamanahkan penguasa negara untuk benar-benar memenuhi kebutuhan umat tanpa syarat termasuk pendidikan.
الامام راع وهو مسؤول عن رعيته
“Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya.” (HR. Ahmad, Syaikhan, Tirmidzi, Abu Dawud, dari Ibnu Umar)
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Hafidz., Membangun Kepribadian Pendidik Umat, WADI Press, 2008Ahmed, Shabir., Anas Abdul Muntaqim., Abdul Satar., Islam dan Ilmu Pengetahuan, Penerbit Al-Izzah, 1999
Al-Baghdadi, Abdurrahman., Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, Penerbit Al-Izzah, 1996
Asari, Hasan., Menyingkap Zaman Keemasan Islam : Kajian Atas Lembaga-Lembaga Pendidikan, Mizan, 1994
Hizbut Tahrir Indonesia, Membangun Generasi Berkualitas Dengan Perspektif Islam, 2003
Hizbut Tahrir Indonesia, Generasi Cerdas, Generasi Peduli Bangsa : Solusi Tuntas Krisis Kepemimpinan, Proceedings Lokakarya Pendidikan Nasional, Jakarta, 2004
Lukman, H. Fahmy. Syariat Islam dalam Kebijakan Pendidikan, www.icmimuda.org, 2006
Yasin, Abu., Strategi Pendidikan Negara Khilafah, Pustaka Thariqul Izzah, 2004

Jumat, 17 Oktober 2008

Al Qur'an



Urgensi Mempelajari al-Quran Bagi Kaum Muslimin



Al Qur'an adalah senjata sakti andalan Rasulullah saw. yang diturunkan pertama kali oleh Allah SWT pada bulan Ramadlan yang penuh berkah (lihat QS. Al Baqarah 185), tepatnya pada malam kemuliaan, lailatul qadar (lihat QS. Al Qadar 1).
Kitab Al Qur'an ini adalah kitab yang paling memberikan pengaruh kepada kehidupan umat manusia selama lima belas abad terakhir ini. Seorang orientalis, H.R. Gibb mengatakan: "Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun terakhir telah memainkan alat bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad (al-qur'an)"
Bagaimana hal itu terjadi? Jawabannya: lebih dari tiga belas abad Al Qur'an menjadi pedoman negara terbesar di dunia, Khilafah Islamiyyah, sejak masa Khulafaur Rasyidin pada abad ke tujuh hingga runtuhnya Khilafah pada tahun 1924, dalam mengatur kehidupan umat manusia. Sebagai negara yang paling berpengaruh di dunia, negara Khilafah Islamiyyah sangat mempengaruhi trend kehidupan masyarakat dunia. Barulah khilafah berangsur melemah pengaruhnya setelah mengalami stagnasi, khususnya setelah masuk dalam cikal bakal Liga Bangsa-bangsa pada tahun 1856 dan menanggalkan politik luar negeri Islamnya, yakni dakwah dan jihad fi sabilillah. Dan setelah runtuhnya khilafah Islamiyyah, hilang pula pengaruhnya. Akibatnya, Al Qur'an pun tinggal menjadi bacaan ibadah atau nyanyian merdu yang dilagukan dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Meski demikian hingga hari ini, alhamdulillah Al Qur'an masih dibaca dan dipelajari.
Apa urgensi mempelajari Al Qur'an?

Urgensi Mempelajari Al Qur'an untuk ibadah
Al Qur'an adalah kitabullah yang membacanya dinilai ibadah.
Nabi Muhammad saw. diriwayatkan pernah bersabda:
"Bukanlah kukatakan alif-lam-mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, mim satu huruf. Masing-masing huruf diberi pahala sepuluh kebajikan".(Al Hadits )
Tidak seperti bacaan lain, membaca al-qur'an, baik mengerti atau tidak artinya, dinilai sebagai ibadah di sisi Allah SWT. Oleh karena itu, sebagai hamba Allah, kaum muslimin selayaknya setiap hari selalu membaca al-qur'an. Allah SWT berfirman:
"...Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-qur'an..." (QS. Al Muzammil 20).
Bahkan al-Qur'an satu-satunya kitab yang diperintahkan untuk dibaca secara tartil, perlahan-lahan dan berirama. Allah SWT berfirman:
"Dan bacalah al-qur'an itu dengan tartil " (QS. Al Muzammil 4).
Mempelajari dan memahami al-Qur'an serta mengajarkannya adalah ibadah yang sangat tinggi nilainya. Rasulullah saw bersabda:
"Yang terbaik di antara kalian adalah yang mempelajari dan mengajarkan al-qur'an." (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ashabus Sunan).
Berkumpul di masjid untuk membaca dan mempelajari tafsir-tafsir serta hukum-hukum al-Qur'an sangat dianjurkan, terutama pada bulan Ramadhan. Rasulullah saw bersabda:
"Dan tiada berkumpul suatu kaum di dalam suatu rumah Allah mereka membaca Kitab dan mempelajarinya bersama-sama (tadaarus) melainkan diturunkan kepada mereka ketenangan, diliputi rahmat, dikelilingi para malaikat dan disebut-sebut oleh Allah di hadapan hamba-hambaNya yang ada di sisiNya." (HR Muslim).
Adapun yang memelihara hafalan al-qur'an dan mengamalkannya dalam kehidupan akan mendapatkan kedudukan mulia di surga sesuai dengan tingkat hafalan dan amalannya. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Dikatakan kepada pengemban al-qur'an, 'Bacalah dan naiklah. Dan bacalah secara tartil seba- gaimana membacanya di dunia. Sesungguhnya kedudukanmu (di surga) berada di tingkat akhir dari bacaanmu' ." (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah,Ibnu Hibban dan Tirmidzi).

Urgensi Mempelajari Al Qur'an sebagai pedoman hidup
Allah secara tegas menyebut bahwa tujuan diturunkannya Al Qur'an adalah sebagai petunjuk bagi kehidupan seluruh umat manusia. Dia berfirman:
"Bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)" (QS. Al Baqarah 185).
Sebagai petunjuk hidup Al Qur'an memang menjelaskan segala sesuatu. Allah menyatakan:
"Dan Kami turunkan kepadamu Kitab Al Qur'an untuk menjelaskan segala sesuatu (tibyanan likulli syai') dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi kaum muslimin".(QS. An Nahl 89).
Sebagai gambaran, berikut ini kami suguhkan paparan Al Qur'an berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan.
1. Aspek aqidah/iman;
yakni berkaitan dengan pandangan hidup yang mesti dimiliki manusia tentang dunia dan akhirat.
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya." (QS. Al Mulk 2).
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. al-Qashash 77).
2. Aspek ibadah;
seperti shalat, shaum, zakat, hajji, doa, dll.
"Dan dirikanlah shalat sesungguhnya shalat itu mencegah (pelakunya) dari (perbuatan-perbuatan) yang keji dan mungkar" (QS. Al Ankabut 45).
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka," (QS. At Taubah 103)
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa" (QS. Al Baqarah 183)
3. Aspek akhlaq,
seperti adil, bersikap baik, lemah lembut, tidak sombong, dll.
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan…" (QS. An Nahl 90)
"Dan hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik" (QS. Al Furqan 63).
4. Aspek makanan dan pakaian,
"Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu" (QS. Al Maidah 88).
"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan" (QS. Al A'raf 26)
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang-orang mumin:'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka' " (QS. Al Ahzab 59).
5. Aspek ekonomi,
"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS. Al Baqarah 275).
"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah…" (QS. Al Baqarah 276).
"…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…" (QS. Al Hasyr 7).
6. Aspek kemasyarakatan,
"Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dan daripadanyaAllah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…" (QS. An Nisa 1).
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal" (QS. Al Hujurat 13).
7. Aspek politik dan pemerintahan,
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allahdan hari kemudian" (QS. An Nisa 59).
8. Aspek militer,
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu," (QS. Al Anfal 60)
9. Aspek pendidikan/ilmu pengetahuan.
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Mujaadilah 11),
"Katakanlah: 'Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? 'Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima penjelasan" (QS. Az Zumar 9).
10. Aspek penegakkan hukum,
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya" (QS. Al Maidah 38).
Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa (QS. Al Baqarah 179).

Khatimah
Dengan sangat jelasnya paparan ayat-ayat Al Qur'an dan kemenyeluruhan cakupannya, Al Qur'an benar-benar mampu memecahkan segala persoalan kehidupan manusia dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
Nash-nash syara' inilah yang telah mendorong para sahabat gemar menyibukkan diri dalam membaca, mempelajari, menghafalkan, dan mengamalkan al-Qur'an. Isi dan irama al- Qur'an telah membekas dalam jiwa dan pikiran mereka. Mereka adalah generasi pengemban al- Qur'an yang telah merealisasikan isi kandungannya dalam kehidupan serta menyebarkan dan mengajarkannya kepada seluruh umat manusia.
Jika kaum muslimin hari ini ingin memimpin dunia maka mereka harus menempatkan al-Qur'an pada kedudukan yang sebenarnya. Untuk itu mereka harus benar-benar mempelajari dan memahami Al Qur'an sebagaimana adanya, bukan ditakwil-takwilkan, bukan disimpang-simpangkan. Persoalannya, siapa yang mau mempelajari Al Qur'an? Perhatikan firman Allah:
ٍDan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (QS. Al Qamar 17).

waspadalah

Waspadailah Upaya Meliberalkan Ajaran Islam


Beberapa waktu yang lalu kaum Muslim dikejutkan dengan berita penyelenggaraan ibadah shalat Jumat di sebuah gereja di Amerika. Imam dan khatibnya seorang perempuan bernama Aminah Wadud. Makmumnya laki-laki dan perempuan. Mereka berada pada shaf yang sama, tanpa pembatas. Jamaah perempuan mengenakan kerudung dan baju potongan. Ada juga perempuan yang sekaligus menjadi muazinnya, yang hanya mengenakan baju atasan dan celana panjang, dengan rambut tanpa penutup.
Sebelumnya, berbagai lembaga keislaman di sana menolak, bahkan ada yang berunjuk rasa. Karenanya, tempat pelaksanaannya dirahasiakan, baru diberitahukan secara umum pada menit-menit terakhir menjelang pelaksanaan. Bagaimana sebenarnya duduk perkara masalah ini?
Tinjauan Hukum Islam
Berkaitan dengan kasus tersebut, dalam tinjauan hukum Islam ada beberapa hal yang penting untuk didudukkan. Pertama, hukum perempuan menjadi imam shalat bagi jamaah laki-laki. Ada satu Hadis Nabi saw. yang berkaitan dengan Ummu Waraqah. Disebutkan bahwa:
«وَأَذِنَ لَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا»
Nabi saw. mengizinkannya (Ummu Waraqah) untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya. (HR Abu Dawud).
Hadis ini bersifat umum. Jika hanya hadis ini saja yang digunakan, mungkin saja ada yang memahami bahwa perempuan boleh menjadi imam bagi penghuni rumahnya (termasuk laki-laki). Namun, ada hadis lain yang menyatakan:
«وَأَذِنَ لَهَا أَنْ تَؤُمَّ نِسَاءَ أَهْلِ دَارِهَا»
Nabi saw. mengizinkannya (Ummu Waraqah) untuk menjadi imam bagi kaum wanita penghuni rumahnya. (HR ad-Daruquthni).
Dalam hadis tersebut dinyatakan, bahwa yang diizinkan untuk diimami wanita itu adalah kaum wanita juga. Hal ini lebih ditegaskan oleh sabda Nabi saw.:
«لاَتَؤُمَنَّ المَرْأَةُ رَجُلاً»
Hendaknya tidak sekali-kali wanita menjadi imam bagi laki-laki. (HR. Ibn Majah).
Berdasarkan kaidah ushul fikih, "I'mâl ad-dalîlayn awlâ min ihmâl ahadihimâ (Menggunakan dua dalil adalah lebih baik ketimbang mengabaikan salah satunya)," maka semua dalil di atas harus disatukan. Artinya, sekalipun hadis pertama bersifat umum, keumuman tersebut dijelaskan oleh hadis lainnya bahwa wanita boleh menjadi imam jika makmumnya hanya wanita. Berdasarkan hal ini, pendapat yang membolehkan wanita menjadi muazin dan imam shalat bagi kaum pria merupakan pendapat yang lemah dan tidak bisa digunakan sebagai pijakan.
Kedua, mengenai hukum wanita menjadi imam/khatib Jumat. Secara umum hal itu harus dikembalikan pada status hukum shalat Jumat itu sendiri bagi kaum wanita. Bagi wanita, shalat Jumat jelas tidak wajib; kewajiban tersebut telah ditetapkan oleh Islam hanya untuk kaum pria. Nabi saw. bersabda:
«اَلْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةٍ عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ أَوْ اِمْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيْضٌ»
Jumat itu merupakan hak yang diwajibkan kepada setiap Muslim dalam suatu jamaah, kecuali terhadap empat orang: budak yang dimiliki (tuannya), kaum wanita, anak-anak, atau orang yang sakit. (HR Abu Dawud).
Sementara itu, khutbah dalam shalat Jumat merupakan salah satu rukun yang telah disepakati kewajibannya oleh para fukaha. Umumnya para fukaha mengaitkan status khatib dengan imâmah shalat Jumat. Artinya, orang yang layak menjadi imam shalat Jumat, dialah yang juga layak menjadi khatib. Dengan kata lain, hanya kaum prialah yang layak menjadi imam/khatib shalat Jumat, yang notabene seluruh jamaahnya adalah kaum pria, karena memang shalat jamaah Jumat tersebut hanya wajib bagi kaum pria.
Di sisi lain, selama masa Rasulullah saw. kaum perempuan menutup aurat mereka, kecuali muka dan telapak tangan; shafnya pun dipisahkan dari laki-laki. Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dilakukan oleh Aminah Wadud yang berpaham liberal itu dalam melakukan ibadah shalat Jumat tersebut tidak berasal dari syariat Islam.
Tinjauan Politik
Apakah pelaksanaan shalat Jumat seperti yang dipromosikan Aminah Wadud didasarkan pada upaya pelaksanaan aturan Islam? Jawabannya jelas: Bukan! Hal ini ditunjukkan oleh banyak realitas.
Pertama, secara umum telah diketahui bahwa kaum liberal dikenal sebagai para penentang syariat Islam. Bahkan, ada pentolan kaum liberal di Indonesia yang mengatakan shalat Jumat tidak wajib. Di sisi lain, peserta ’Jumatan’ saat itu hanya 100 orang. Pelaksanaannya diumumkan, tetapi tempatnya dirahasiakan, dan baru diumumkan menjelang pelaksanaan. Pelaksanaan acara tersebut lalu diberitakan secara besar-besaran oleh media Barat, seperti CNN Amerika dan BBC Inggris, yang dikutip oleh media massa Indonesia. Karena itu, aktivitas tersebut tidak boleh dipandang selain sebagai upaya propaganda terbuka untuk menentang syariat Islam yang telah dilaksanakan terus-menerus lebih dari 1400 tahun.
Kedua, aktivitas itu hanya dilakukan saat itu. Kalau mereka konsisten, sejatinya mereka akan menuntut agar shalat Jumat diwajibkan bagi perempuan, bukan sekadar menjadi imam/khathib. Lebih dari itu, jika mereka memang konsisten menuntut kesamaan dengan kaum laki-laki, mengapa mereka tidak menuntut agar kewajiban memberi nafkah diwajibkan atas perempuan; tidak menuntut agar shalat tetap diwajibkan bagi perempuan sekalipun sedang haid atau nifas; tidak menuntut apa saja yang diwajibkan atas laki-laki agar diwajibkan pula atas perempuan? Aminah Wadud sendiri menegaskan, bahwa aktivitas itu dilakukan hanya untuk menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan itu sama.
Jelaslah bahwa aktivitas ini hanyalah salah satu cara yang dipilih untuk mempromosikan liberalisme (kebebasan) dan meninggalkan aturan Islam dalam kaitannya dengan hubungan pria dan wanita. Semangat aksi tersebut bukan untuk mempraktikkan Islam, seberapa pun kecil dan lemah argumentasinya. Namun, tujuannya adalah untuk mempertontonkan arogansi (kesombongan) feminisme, dengan menjadikan ide feminisme sebagai sumber dan logika hukum.
Serangan Peradaban Barat
Setelah negara-negara Barat sekular gagal melenyapkan Islam ideologis dari tubuh kaum Muslim dengan cara militer dan politik, mulailah mereka melakukan serangan peradaban. Liberalisme (kebebasan), salah satu pilar peradaban Barat, lalu dicekokkan ke dalam tubuh kaum Muslim. Lalu mulailah mereka berupaya menyimpangkan akidah dan syariat Islam dengan senjata liberalisme pemikiran. Itulah sebabnya, mengapa upaya meliberalkan ajaran Islam dimulai dan dipelopori oleh dunia Barat seperti Amerika, lalu diikuti oleh para pengikutnya di Dunia Islam.
Upaya Barat untuk meliberalkan Islam ditempuh, misalnya, dengan cara menafsirkan Islam dengan menggunakan kacamata peradaban Barat seperti pluralisme dan feminisme (emansipasi). Berdasarkan pluralisme ini muncullah paham bahwa semua agama sama; semuanya merupakan jalan menuju Tuhan yang satu. Karenanya, disatukanlah agama Islam dengan peribadatan Kristen. Ibadah Jumat pun diadakan di gereja. Yang perlu dicermati, mengapa acara itu diizinkan diadakan di gereja, padahal bukankah dalam Kristen pun tidak pernah dikenal pastor perempuan?
Dalam kaitannya dengan paham feminisme, laki-laki dan perempuan hendak disamakan. Berdasarkan cara pandang ini lahirlah pendapat seperti: perempuan tidak perlu memakai kerudung dan jilbab, berpakaian saja seperti laki-laki; kalau laki-laki dapat shalat dengan mengenakan kemeja dan celana panjang, perempuan pun bisa; pemisahan laki-laki dan perempuan dalam shaf tidak adil, karenanya campur-baur shaf ketika shalat harus dilakukan; jika laki-laki boleh menjadi imam, perempuan pun mampu melakukannya. Begitu seterusnya.
Padahal Allah SWT telah membebankan hukum syariat kepada manusia sama, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka sama-sama diperintahkan memiliki akidah yang lurus, shalat, dakwah, haji, mengoreksi penguasa, dan terikat dengan hukum syara lainnya. Balasan yang akan diterima pun sama. Ketika terdapat hukum yang dibebankan atas laki-laki dan perempuan berbeda, itu adalah jalan menuju penyelesaian problematika manusia. Ingatlah, Allah SWT lebih tahu atas manusia daripada manusia itu sendiri.
Dalam ’perbedaan bentuk hukum’ ini kesamaannya terletak pada nilai amal di sisi Allah SWT. Sebagai contoh: laki-laki yang mencari nafkah mendapatkan pahala, dan perempuan yang menjadi ibu dan pengatur rumahtangga juga mendapatkan pahala; perempuan yang shalat di shaf belakang juga memiliki nilai yang sama di sisi Allah dengan laki-laki yang shalat di shaf depan. Perbedaan seperti itu tidak berarti menunjukkan perbedaan derajat, melainkan menunjukkan perbedaan peran yang diberikan oleh Allah Yang Mahatahu.
Cara pandang inilah yang tidak dimiliki Barat. Ideologi dan peradaban Barat yang menjadi jiwa kaum liberal memang gagal memahami hubungan laki-laki dan perempuan tersebut. Akibatnya, ketika Islam diterawang dengan kacamata peradaban Barat, maka hukum-hukum Islam dipelintir atau dicocok-cocokkan dengan Barat, bahkan akhirnya diinjak-injak.
Demikianlah, jika umat Islam tidak menjaga ajaran Islam maka proses pelenyapan hukum Islam—hingga hukum shalat sekalipun—oleh musuh Islam akan terus berlangsung. Rasulullah saw. bersabda:
«لَيُنْقَضَنَّ عُرَى اْلإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ»
Sungguh, akan terlepas aturan dan syiar Islam ('ura al-Islâm) sehelai demi sehelai. Ketika terlepas suatu aturan, manusia akan bergantung pada aturan berikutnya. Awal dari ’ura al-Islâm tersebut adalah hukum/pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat. (HR Ahmad).
Khatimah
Kaum Muslim telah diingatkan oleh Nabi saw. bahwa suatu ketika akan ada para penyeru ke neraka dengan menggunakan bahasa agama. Ketika hal ini muncul seperti sekarang, maka umat Islam diperintahkan meninggalkan mereka serta berpegang pada Islam dan pemimpin kaum Muslim (Imam/Khalifah). Jika Imam/Khalifah tidak ada, umat Islam wajib untuk terus berjuang mengembalikannya. Sebab, hanya Imam/Khalifahlah yang akan dapat menjaga dan memelihara Islam dan hukum-hukumnya dari berbagai serangan orang-orang kafir musuh-musuh Islam. Allâhu akbar! []

Selasa, 14 Oktober 2008

DAKWAH


DAKWAH ISLAM:

Antara Tharîqah, Uslûb, dan Washîlah



Ideologi secara umum dapat didefinisikan sebagai serangkaian konsep hubungan dan keyakinan yang memberikan dasar bagi sistem politik, ekonomi, dan kemasyarakatan. Dengan demikian, kita memahami bahwa ideologi apapun mempunyai dua komponen pokok: (1) ide (fikrah); (2) metode (tharîqah).

Ide (Fikrah)

Terma ide (fikrah) dapat diterjemahkan sebagai pemikiran. Pemikiran yang paling mendasar adalah doktrin tentang landasan, yaitu doktrin tentang akidah. Seluruh pemikiran dan sistem yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan terpancar dari—dan ditentukan oleh—akidah. Dengan demikian, ide/pemikiran—yang menjadi satu dari dua komponen pokok sebuah ideologi—adalah pemikiran yang dibangun di atas akidah. Dalam konteks ideologi, ide terdiri dari:

(1) Akidah atau doktrin itu sendiri yang merupakan landasan pemikiran tentang alam, manusia, dan kehidupan. Allah SWT berfirman:

]قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ[

Katakanlah, “Allah itu Esa.” (QS al-Ikhlash [112]: 1).

Ayat di atas merupakan ide/pemikiran yang berkaitan langsung dengan akidah.

(2) Peraturan/hukum-hukum yang muncul dari akidah. Hukum-hukum (ahkâm) itu diturunkan dari akidah (doktrin) dan digunakan untuk memecahkan problema kehidupan secara keseluruhan. Allah SWT berfirman:

]وَاَحَلَ اللهُ اْلبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا[

Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah [2]: 225).

Ayat tersebut menghasilkan pemikiran yang berkaitan dengan interaksi yang spesifik, yakni interaksi ekonomi dan kerjasama. Ayat-ayat yang lain ada yang berkaitan dengan kondisi yang diperlukan untuk mendirikan khilafah, menjelaskan tentang khalifah, dsb. Ada juga yang berkaitan dengan tata hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, transaksi bisnis, makanan, pakaian, dan lain sebagainya.

Metode (Tharîqah)

Metode (tharîqah) adalah cara untuk merealisasikan ide sehingga sebuah ideologi menjadi aplikatif (membumi), tidak menjadi falsafah kosong. Rasulullah saw. tidak hanya sekadar menjadi penyampai berbagai penjelasan Tuhannya semata, tetapi juga menjadi seorang hakim pelaksana atas berbagai penjelasan tersebut. Rasulullah saw., misalnya, tidak hanya sekadar menjelaskan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa yang harus disembah, tetapi juga berusaha agar hal itu bisa direalisasikan ke dalam dunia nyata. Beliau menyeru umat manusia ke jalan Allah, sementara pada saat yang sama, komunitas para sahabat bekerja bersama-sama beliau untuk mendirikan Daulah Islamiyah di Makkah. Dengan begitu, beliau dapat mewujudkan suatu institusi yang tegak di atas keimanan. Institusi inilah yang secara praktis menerapkan Islam, sekaligus memberikan sanksi kepada setiap orang yang keluar dari kerangka akidah dan sistem Islam. Institusi inilah yang juga berusaha menyebarkan Islam dengan metode dakwah dan jihad.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode mencakup: (1) Aplikasi atas ide; (2) Pemeliharaan akidah; (3) Penyebaran ideologi.

Hukum-hukum di seputar tegaknya Daulah Islamiyah dan usaha untuk mendirikannya, ‘uqûbât, jihad, ataupun amar makruf nahi mungkar semuanya merupakan hukum-hukum syariat yang bersifat praktis. Hukum-hukum tersebut telah ditetapkan oleh syariat untuk menjaga, memelihara, menyebarkan, serta mendakwahkan akidah dan sistem Islam—agar keuniversalan keduanya dapat tercapai.

Suatu aksi akan dipandang sebagai bagian dari metode jika ada justifikasi yang berasal dari dalil. Sebagai contoh, jihad. Jihad merupakan metode yang memiliki banyak aktivitas cabang; masing-masing memiliki landasan dalil. Contohnya adalah melakukan perang ofensif dan mendakwahkan Islam kepada mereka yang menjadi lawan berperang kita. Semua itu didasarkan pada dalil-dalil yang ada. Inilah jalan yang dilakukan dan ditempuh oleh Rasulullah. Karenanya, semua aksi itu secara kesluruhannya terlarang untuk dimodifikasi (ditambah, dikurangi, atau diubah).

Dengan demikian, jelaslah bahwa ide (fikrah) dan metode (tharîqah) merupakan komponen dari suatu ideologi. Oleh karenanya, keduanya mesti dipegang secara kuat dan dengan keyakinan penuh. Tidak boleh hanya mengambil fikrah sembari mengabaikan tharîqah ataupun sebaliknya. Allah SWT berfirman:

]أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ[

Apakah engkau akan mengimani sebagian dari al-Quran dan mengingkari sebagian yang lainnya? Tidak ada balasan bagi orang yang melakukan hal itu kecuali kehinaan di dunia dan di Hari Kiamat kelak akan dikembalikan pada azab yang pedih. (QS al-Baqarah [2]: 85).

Seandainya tidak ada hukum-hukum yang menjelaskan tentang tatacara melindungi, menerapkan, dan menyebarkan hukum-hukum yang berkaitan dengan akidah dan sistem Islam, Islam pasti akan stagnan (beku), tidak bergerak, tidak akan sampai kepada kita, dan tidak akan tersebar ke seluruh dunia; Islam pun pasti hanya akan menjadi sekumpulan nasihat dan petunjuk semata sebagaimana halnya agama Nasrani yang cukup dengan seruan, “Janganlah kamu berzina dan tertarik dengan istri tetanggamu,” tanpa ada peraturan lain yang memungkan seruan tersebut bisa dilaksanakan di dunia nyata. Seandainya demikian kenyataannya, Islam pun pasti tidak akan memiliki pengaruh yang signifikan bagi kehidupan, dan akan membutuhkan sejumlah pemikiran praktis yang lain—di luar Islam—dalam upaya menerapkan hukum-hukum yang tidak mampu Islam terapkan; meskipun dengan gambaran yang salah.

Di dalam Islam, zina, misalnya, merupakan suatu perbuatan yang haram. Sesuatu yang dapat mencegah terjadinya hubungan yang haram ini tidak lain adalah hukum-hukum syariat yang lain yang berkaitan dengannya, yaitu ‘uqûbah atau sanksi (berupa hukuman cambuk atau rajam, red.) bagi pezina yang secara praktis diterapkan oleh Daulah Islamiyah. Dalam hal ini, syariat Islam telah menjelaskan hukum zina melalui firman Allah berikut ini:

]وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً[

Janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk. (QS al-Isra’ [17]: 32).

Syariat Islam juga telah menjelaskan hukuman bagi pelaku zina melalui ayat berikut:

]الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ [

Perempuan yang berzina maupun laki-laki yang berzina, deralah masing-masing seratus kali deraan. (QS an-Nur [24]: 2).

Lebih dari itu, syariat Islam juga telah menjelaskan pihak yang melaksanakan hukuman tersebut dan mengurusi penerapannya melalui sabda Rasulullah saw. berikut:

»ادْرَءُوا الْحُدُودَ عَنِ الْمُسْلِمِينَ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَخْرَجٌ فَخَلُّوا سَبِيلَهُ فَإِنَّ الإِْمَامَ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعُقُوبَةِ«

Jauhkanlah sanksi hudûd dari umat Islam semampu kalian. Jika kalian menemukan jalan keluar bagi seorang Muslim (agar ia terbebas dari sanksi hudûd), lepaskanlah ia. Sesungguhnya penguasa yang salah dalam memberi maaf lebih baik daripada salah dalam memberlakukan sanksi. (HR at-Turmudzi dan al-Hakim).

Melalui hadis ini, Rasulullah saw. jelas telah menetapkan bahwa imam (penguasa)-lah yang menerapkan hukum tersebut.

Demikian juga dengan shalat. Dalam konteks shalat, sesungguhnya syariat Islam telah menjelaskan bahwa hukumnya adalah fardhu. Syariat Islam telah menjelaskan pula hukum di seputar sanksi bagi orang yang melalaikannya. Syariat Islam juga menjelaskan tentang pihak yang menerapkan sanksi, yaitu Daulah Islamiyah.

Uslûb (Cara)

Uslûb (cara) adalah cabang dari metode (tharîqah). Uslûb berbeda dengan tharîqah; ia tidak memiliki pijakan dalil secara khusus, tetapi mengikuti hukum tharîqah. Contohnya adalah dalam konteks jihad, yakni ketika Allah SWT memerintahkan kaum Muslim menyiapkan kekuatan apa saja yang mungkin dapat digunakan untuk menggentarkan, melawan, dan mengalahkan musuh.

]وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ[

Siapkanlah kekuatan yang mungkin kalian siapkan untuk (menghadapi) mereka. (QS al-Anfal [8]: 60).

Persiapan tersebut memerlukan banyak aktivitas seperti menggunakan cara pabrikasi senjata tertentu, mengadopsi gaya militer tertentu, dan sebagainya. Semua aktivitas itu secara implisit terkandung dalam kata siapkanlah sehingga tidak lagi memerlukan dalil-dalil untuk menjelaskan masing-masing dari aktivitas tersebut.

Contoh lain adalah perintah Allah dan Rasul-Nya untuk memilih seorang khalifah untuk seluruh kaum Muslim. Dalam proses pemilihan khalifah boleh jadi akan ditempuh pengadopsian suatu prosedur pemilihan dan pengumuman suara. Semua ini tidak memerlukan dalil khusus, tetapi cukup disandarkan pada keterangan umum dari perintah di atas, yaitu memilih khalifah.

Walhasil, uslûb adalah sekumpulan aktivitas cabang yang diasumsikan sesuai dengan suatu aktivitas pokok tanpa memerlukan dalil khusus. Pengadopsian cara berperang tertentu, prosedur pengumuman suara, aturan lalu lintas tertentu, pembagian kekuatan militer ke divisi dan subdivisi, dsb semuanya berhubungan dengan uslûb tertentu dan hukumnya boleh diadopsi. Namun demikian, ketika uslûb tertentu mutlak harus diadopsi, maka ia menjadi wajib hukumnya karena kaidah syariat menyatakan:

]مَالاَ يَتِمُّ اْلوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ اْلوَاجِبُ[

Suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib.

Dari kaidah tersebut kita dapat mengetahui bahwa tidak ada satu kewajiban untuk mengikuti satu uslûb tertentu, kecuali ketika uslûb tersebut harus diwujudkan sesuai dengan kaidah di atas, karena uslûb bersifat kondisional.

Dengan alasan ini, uslûb yang dipakai seseorang bisa saja berbeda dengan yang dipakai oleh orang lain dan bisa berubah dari satu situasi ke situasi yang lain. Karena itu, tidak bijaksana membatasi uslûb tertentu sebagai standar. Sebab, uslûb ditentukan oleh situasi dan kondisi. Satu uslûb boleh jadi sangat berhasil pada satu situasi tetapi menjadi gagal total pada beberapa situasi yang lain. Karena itu pula, kita berkewajiban untuk berusaha keras mencari uslûb yang paling efektif. Dalam banyak hal, uslûb yang efektif akan berpelunag besar membuahkan hasil yang baik sekali, seperti manuver Khalid bin Walid ketika menarik kembali pasukan pada perang Mu’tah yang membuahkan terselamatkannya pasukan kaum Muslim dari kerusakan yang parah.

Membedakan Tharîqah dan Uslûb

Dengan meneliti sejarah dakwah, seseorang akan dapat mengetahui bahwa ada banyak keadaan yang menjelaskan perbedaan antara metode (tharîqah) dan cara (uslûb). Kita diperintahkan untuk mengadopsi dan menegakkan tharîqah tanpa ada deviasi sedikitpun, tetapi tidak diwajibkan untuk mengadopsi uslûb tertentu.

Sunnah Rasulullah adalah bagian tak terpisahkan dari Islam. Sunnah menjelaskan dan mendeskripsikan secara detil banyak fikrah dan tharîqah yang diperintahkan dalam al-Quran. Penjelasan atas fikrah tertentu adalah sama hukumnya dengan fikrah itu sendiri. Contohnya adalah ibadah ritual. Allah telah memerintahkan bagaimana performa seseorang yang melaksanakan shalat dan haji secara detil. Semua aktivitas itu hukumnya sama dengan fikrah-nya, yakni perintah untuk menunaikan shalat dan haji itu.

Untuk mengetahui mana dari aktivitas Rasulullah yang merupakan kewajiban, mana yang merupakan sunnah/anjuran, dan mana yang merupakan kemubahan maka ketentuan dalam ushul fikih perlu dijelaskan. Dengan mendalami aktivitas Rasul dalam berbagai tahapan dakwahnya akan ditemukan apakah suatu aktivitas merupakan bagian dari tharîqah atau uslûb. Rasulullah menyampaikan Islam mengikuti tharîqah tertentu.

Yang termasuk tharîqah dakwah Rasulullah saw. adalah menyampaikan Islam dan menggerakkan dakwah dari satu tahap ke tahap berikutnya. Beliau menetapi tahap dakwah tertentu dengan aktivitas yang tidak beliau lakukan pada tahap sebelumnya yang disertai dengan ketekunan dan kesungguhan hati sekalipun hal itu berpotensi mendatangkan bahaya. Semua itu menjadi sejumlah bukti/dalil bahwa aktivitas tersebut merupakan kewajiban dan menjadi bagian dari tharîqah.

Secara spesifik, pada tahap awal sekali, Rasulullah teguh dalam memusatkan usaha untuk membina individu dalam halqah-halqah dan mendidik masyarakat umum (tatsqîf jama‘î). Ketabahan dan keberlanjutan beliau dalam melaksanakan aktivitas tersebut merupakan bukti/dalil yang memastikan bahwa mendidik masyarakat dan mendidik individu dengan Islam merupakan tharîqah. Konsekuensinya, hal itu wajib diadopsi dan diikuti.

Pada tahap kedua, yang dilakukan oleh Rasulullah mencakup dua aktivitas. Keduanya tidak beliau lakukan pada tahap sebelumnya atau tahap pertama (tahap tatsqîf) yaitu:

a. Mengkritik berbagai perilaku buruk yang terjadi di masyarakat dalam bentuk yang dimandatkan oleh Islam. Rasulullah menyerang kecurangan dan penipuan dalam timbangan dan praktik pembunuhan anak perempuan.

b. Menyingkap rencana makar terhadap kaum Muslim semisal yang terjadi selama peperangan antara Romawi dan Persia.

Semua itu mengindikasikan bahwa menyingkap rencana orang-orang kafir dan membongkar isu di masyarakat dengan dasar Islam merupakan bagian dari tharîqah. Berbagai macam aksi Rasulullah saw. pada tahap kedua yang tidak beliau lakukan pada tahap pertama mengindikasikan bahwa sejumlah aktivitas itu merupakan aktivitas yang spesifik yang mesti ada pada tahap kedua.

Pada tahap ketiga, Rasulullah saw. berupaya mencari perlindungan (thalab an-nushrah) bagi dakwah Islam. Beliau berkeras hati dan terus melakukan upaya ini. Beliau, misalnya, mengutus Mush‘ab bin Umair ke Madinah. Semua itu mengindikasikan bahwa mencari perlindungan bagi dakwah Islam merupakan bagian dari tharîqah.

Menyampaikan dakwah Islam serta mengintroduksi dan menumbuhkan fikrah Islam tentang kehidupan sekaligus mengubah kehidupan perlu dilakukan sejak tahap pertama dakwah. Kemudian, pada tahap kedua, dakwah juga perlu dibarengi dengan mengungkap rencana makar (kasyf al-khuththath) orang-orang kafir (musuh Islam) terhadap kaum Muslim dan mengangkat berbagai isu yang berkembang di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan landasan Islam. Setelah itu, perlu usaha untuk menegakkan negara Islam. Aktivitas ini terkait dengan fase ketiga dari dakwah Islam. Semua ini merupakan bagian dari tharîqah dakwah Rasulullah saw. Keteguhan beliau dalam melakukan semua itu mengindikasikan bahwa semua aksi itu wajib dilakukan dalam mendakwahkan Islam. Dalil dari semua aksi tersebut adalah firman Allah berikut:

]لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ[

Sungguh telah terdapat dalam diri Rasul suri teladan yang baik. (QS al-Ahzab [33]: 21).

Imam al-Qarafi mengkhususkan satu bagian dalam buku beliau, Al-Furûq. Pada bab tersebut beliau menjelaskan apa yang dilakukan oleh Rasulullah dalam kapasitas beliau sebagai imam dan qâdhî (hakim), yang tidak dapat dicontoh oleh siapapun kecuali dia adalah seorang imam atau qâdhî. Demikian pula apa yang dilakukan oleh Rasul dalam kapasitasnya sebagai dai yang menyerukan Islam; merupakan kewajiban bagi semua pengemban dakwah Islam.

Dengan demikian, tatkala kita membawa pesan Islam, kita tidak boleh melakukan berbagai aktivitas perjuangan fisik (mengangkat senjata) sebelum berdirinya daulah (negara) Islam, karena hanya Daulah Islamiyah-lah yang boleh melakukan perjuangan fisik. Rasulullah hanya melakukan aktivitas perjuangan fisik setelah beliau menjadi kepala negara Islam. Ketika di Makkah, beliau sama sekali tidak melakukan aktivitas fisik, karena beliau belum menjadi imam (kepala negara).

Kita menjumpai bahwa Rasulullah melakukan sejumlah aktivitas dalam menyampaikan pesan Islam saat di Makkah. Beliau melakukan pembinaan khusus di tempat-tempat khusus dan dengan cara yang khusus, yaitu dalam bentuk halqah-halqah, seperti Halqah al-Khabbab. Beliau juga mendidik masyarakat secara umum. Aktivitas itu dilakukan dengan cara dan bentuk yang berbeda-beda, misalnya beliau pernah mengundang orang-orang untuk makan bersama dengan tujuan untuk menyampaikan risalah Islam; beliau juga pernah berdiri di Bukit Shafa seraya menyampaikan pesan-pesan Islam. Aktivitas yang berbeda-beda ini terkait dengan cabang dari konsep pokoknya, yakni pembinaan umum (tatsqîf jama‘î). Dengan demikian, dalam hal yang terakhir ini, kita tidak diwajibkan untuk melakukan cara yang sama dengan cara yang diadopsi dan daipraktikkan oleh Rasulullah. Kita bisa saja berbicara kepada orang ketika orang-orang itu berkumpul di masjid, saat pesta pernikahan, atau di penguburan; melalui media seperti di bus, kereta, pesawat, dan sebagainya.

Hal yang sama dilakukan oleh Rasulullah mencari perlindungan (thalab al-nushrah). Beliau hanya mencari perlindungan dari kaum Muslim atau dari individu Muslim yang memiliki kekuatan saja (tidak dari orang-orang kafir). Konsekuensinya, kita pun dapat mencari perlindungan dari suatu kaum, dari komandan militer, atau dari massa yang memiliki kekuatan (ahl al-quwwah) selama mereka adalah Muslim. Artinya, mencari perlindungan dalam dakwah adalah termasuk tharîqah, sedangkan siapa yang harus diminati perlindungan adalah termasuk uslûb.

Kesimpulannya, uslûb didefinisikan sebagai cara bagaimana suatu kewajiban dilaksanakan. Uslûb tidak memerlukan dalil spesifik karena telah tercakup dalam dalil umum dari aktivitas pokoknya dan tujuan yang hendak diraih.

Wasilah (Alat)

Wasilah (washîlah) adalah piranti fisik yang boleh diadopsi ketika melakukan aktivitas cabang. Menggunakan kertas untuk menulis, radio untuk berbicara, dan senapan otomatis untuk berperang, dll merupakan wasilah. Dalam hal ini, berlaku kaidah ushul fikih:

]

اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةُ مَالَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّحْرِيْمِ

Semua benda adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Contoh, kita dapat menggunakan kotak kayu untuk dalam pemungutan suara, menggunakan misil antar benua untuk berperang, atau menggunakan satelit untuk komunikasi. Kita dapat menyeru masyarakat dengan menggunakan pamflet-pamflet, leaflet-leaflet, atau sarana-sarana lainnya. Semua itu diperbolehkan. Rasulullah saw. suatu ketika pernah mengutus seseorang ke Yaman untuk mempelajari teknik pembuatan pedang dan lantas Rasul pun mengadopsi teknologi tersebut. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [A]

HIJRAH

Hijrah Menuju Khilafah Islamiyah











Hijrah Nabi Muham-mad saw. merupakan momentum sejarah yang paling penting dan menentukan tegaknya peradaban Islam di muka bumi ini. Hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat -setelah masyarakat Mekkah yang jumud itu tidak memberikan peluang bagi terbitnya peradaban baru di negerinya- membuka babak baru bagi perkembangan Islam di kota Yatsrib (+400 km dari kota Mekkah) yang kemudian berubah menjadi Madinatur Rasul atau Madinah Munawwarah. Hijrah yang dilakukan setelah 13 tahun dakwah di kota Mekkah itu telah mengubah kaum Muhajirin yang tertindas (mustad'afin) menjadi warga masyarakat di kota Madinah selain kaum Anshor. Bahkan, menjadi pelopor perubahan dunia di masa berikutnya.

Hijrah itu juga telah mengubah keadaan kaum musyrikin penyembah berhala dari kalangan suku Aus dan Khazraj di kota Madinah menjadi orang-orang mukmin yang telah menolong dan melindungi perjuangan Nabi Muhammad saw. Lebih dari itu, mereka menjadi kaum yang mulia sebagaimana disebut-sebut dalam Al Qur'an maupun As Sunnah.

Hijrah itu pulalah yang telah mengubah kaum muslimin yang pada awalnya merupakan kelompok dakwah di bawah pimpinan Nabi Muhammad saw. menjelma menjadi suatu umat yang memiliki kemuliaan, kedudukan, dan kekuasaan. Rasulullah saw. pun akhirnya menjadi seorang penguasa (haakim) yang menjalankan pemerintahan dan kekuasaan menurut apa yang diturunkan Allah SWT kepada beliau saw., selain sebagai Nabi dan Rasul. Hijrah telah mengubah masyarakat Madinah yang terpecah-pecah dalam kabilah-kabilah menjadi satu umat dan satu negara di bawah kepemimpinan Risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Ya, hijrah itulah yang menandai perubahan suatu masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam yang memiliki peradaban yang luhur karena diliputi oleh nilai-nilai dan hukum-hukum Ilahi. Inilah awal bersatunya berbagai bangsa yang memiliki hukum, tatanegara, dan adat istiadat serta bahasa yang berbeda-beda menjadi umat yang satu, dengan hukum tata negara yang satu, serta bahasa yang satu di bawah naungan Islam, yakni umat Islam ummatan wahidah. Dengan hijrah, kekufuran lenyap diganti keimanan. Kejahiliyahan musnah tertutup cahaya Islam. Ketertindasan berubah menjadi kemuliaan dan keagungan. Murka Allah SWT sirna, sebaliknya keridlaan-Nya datang.

Hanya saja, sejak runtuhnya Khilafah Islamiyyah pada tahun 1924, umat Islam yang telah dibangun berabad-abad yang lampau mengalami keruntuhan dan keterpecahbelahan seperti yang kita lihat sekarang. Pertanyaannya, apakah kaum muslimin tidak ingin kembali mengulangi sukses hijrah seperti yang pernah dialami para pendahulu mereka? Apakah kaum muslimin rela hidup dalam keadaan cerai-berai dan carut-marut seperti sekarang? Apakah kaum muslimin betah hidup menderita di bawah tekanan sistem kufur? Jika tidak, apakah yang mesti kita perbuat dalam memperingati momentum Hijrah yang telah diabadikan oleh Khalifah Umar bin Khaththab sebagai awal mula tahun Hijriyah, tahun penanggalan kaum muslimin? Tentu saja kaum muslimin harus memahami makna hijrah Rasulullah saw. dan memahami pula bagaimana aktualisasi hukum Allah SWT tersebut di masa kini sesuai dengan realitas umat yang ada kini.

Makna Hijrah

Dalam bahasa Arab, hijrah berarti berpindah tempat. Sedangkan, secara syar'iy para fuqaha mendefinisikan hijrah sebagai :

"Keluar dari darul kufur ke darul Islam". (An Nabhani, Syakhsiyyah Al Islamiyyah Juz II/276).

Pengertian darul Islam dalam definisi itu adalah suatu daerah (negara) yang menerap-kan hukum Islam dalam segala aspek kehidupan serta keamanannya berada di tangan kaum muslimin. Sebaliknya, wilayah yang tidak menerapkan hukum Islam atau keamanannya di tangan bukan muslim merupakan darul kufur sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Saat itu, Nabi dan para sahabatnya hijrah dari darul kufur Makkah, lalu membentuk darul Islam Madinah. Ketika kaum muslimin keluar dari kota Mekkah menuju kota Madinah, motivasi utama mereka adalah keimanan dan melaksanakan perintah Allah SWT. untuk menyelamatkan agama mereka dari fitnah yang ditimbulkan oleh kaum musyrikin Quraisy. Dan Kota Madinah sebagai negara baru --Daulah Islamiyyah-- yang dipimpin oleh Nabi Muhammad saw. memberikan keamanan bagi mereka bahkan mengembangkan kehidupan mereka sebagai umat baru dengan peradaban baru, umat Islam.

Oleh karena itu, ketika kota Mekkah telah ditaklukkan dan Quraisy sebagai lambang kekuasaan kufur telah runtuh dan umat manusia telah berbondong-bondong masuk Islam, hijrah dalam arti perpindahan kaum muslimin dari kota Mekkah ke kota Madinah telah ditutup karena Mekkah bukan lagi darul kufur, tetapi telah menjadi bagian dari Daulah Islamiyyah yang berpusat di kota Madinah. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda: "Tidak ada pelaksanaan kewajiban hijrah setelah penaklukan kota Mekkah". Ketika ditanya tentang Hijrah, istri Nabi A'isyah ummul mukminin r.a. menyatakan : "Sekarang sudah tak ada hijrah. Dulu orang mukmin lari mem-bawa agamanya kepada Allah dan Rasul-Nya karena takut difitnah. Adapun sekarang Allah SWT benar-benar telah memenangkan Islam dan seorang mukmin dapat beribadah kepada Allah SWT sesuka dia". Dengan demikian jelaslah bahwa ketika kaum muslimin telah bisa menampakkan keislaman mereka dan dapat menegakkan hukum-hukum Islam dalam Daulah Islamiyyah, kewajiban hijrah dari negeri tempat mereka tinggal menjadi hilang.

Aktualisasi Hijrah

Mencermati kondisi kaum muslimin menjelang milenium ketiga ini, keadaan mereka di seluruh dunia Islam boleh dikatakan memprihatinkan. Di negeri-negeri di mana kaum muslimin minoritas, keadaan mereka tertindas. Moro, Pattani, Rohingya, Kasymir, Chechnya, Palestina, Bosnia, dan Kosovo merupakan saksi nyata kesengsaraan dan ketertindasan kaum muslimin di akhir abad 20 hanya karena satu alasan : mereka muslim ! Mereka sama sekali tidak diberi kesempatan untuk memunculkan Islam, bahkan memunculkan diri sebagai muslim. Sementara itu, mereka yang tinggal di negeri-negeri di mana kaum muslimin mayoritas, justru hukum-hukum Islam tak bisa ditegakkan. Orang-orang yang berpegang teguh kepada aturan Allah SWT disisihkan. Bahkan, orang-orang mukmin yang konsisten dalam perjuangan menegakkan dienul Islam difitnahi dengan berbagai cap yang menyudutkan seperti eksklusif, ekstrimis, radikal, fundamentalis, bahkan teroris! Akibatnya aspirasi Islam dibunuh, para pejuangnya pun diburu dan dijebloskan ke penjara, dan sebagian diperlakukan tanpa batas perikemanusiaan hingga dibunuh. Dan kaum muslimin pun hidup tertekan dalam penjara besar negeri mereka sendiri yang telah dikuasai sistem kekufuran yang dikontrol oleh negara-negara besar Barat sebagai gembong kekufuran.

Problematikanya, manakala kaum muslimin hendak berhijrah, kemana? Sebab seluruh dunia adalah darul kufur. Di negeri-negeri Barat yang demokratis tempat sebagian kaum muslimin bermukim, keadaannya tidak lebih baik dari negeri-negeri mereka sendiri. Oleh karena itu, bagaimana aktualisasi hijrah?

Pertama, hijrah dari keadaan yang sangat menindas dan atau merusak aqidah mereka menuju tempat-tempat di mana keberagamaan mereka diakui dan dilindungi. Dalam kasus ini dapat dicontohkan perpindahan kaum muslimin dari Palestina, Bosnia, Chechnya dan lain-lain ke negeri-negeri Islam seperti Yordania, Saudi Arabia, dan Pakistan. Contoh lain, kaum muslimin yang hidup di Eropa atau AS dimana distrik atau kota tempat mereka tinggal sangat mengganggu aqidah dan kepribadian mereka, maka mereka wajib untuk berhijrah ke tempat-tempat lain yang lebih baik dan aman bagi aqidah dan kepribadian kaum muslimin sekalipun itu masih di negeri kafir tersebut.

Kedua, jika di suatu negeri Islam tegak pemerintahan Khi-lafah 'ala minhajin nubuwwah --dalam waktu yang tidak lama lagi insyaallah-- sehingga darul Islam dimana kaum musllimin bisa menampilkan Islam dengan sem-purna dan hukum-hukum Allah SWT bisa ditegakkan dalam kehidupan, maka hukum hijrah sebagaimana hukum perpindahan kaum muslimin dari kota Mekah ke kota Madinah sebelum ditaklukkannya kota Mekkah (Fathu Makkah) berlaku kembali. Kaum muslimin di berbagai penjuru dunia yang terancam dirinya oleh lingkungannya lantaran keislamannya sedangkan dia mampu berhijrah, maka dia wajib berhijrah ke negara Khilafah Islamiyyah tersebut. Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". (QS. An Nisa 97).

Namun bagi mereka yang mampu berhijrah, tapi dalam kondisi tidak terancam, yakni masih bisa menampilkan diri sebagai muslim dan melaksanakan hukum-hukum Islam yang dituntut kepadanya, maka tidak wajib baginya berhijrah ke negara Khilafah Islamiyyah, melainkan hanya mandub (sunnah) saja hukumnya. Kesimpulan hukum mandub ini oleh Taqiyuddin An Nabhani (idem) difahami dari adanya dorongan dan mobilisasi yang dilakukan oleh Rasulullah saw. agar kaum muslimin berhijrah dari Mekkah ke kota Madinah. Dorongan itu juga tampak dalam sejumlah firman Allah SWT diantaranya :

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. Al Baqarah 218).

"Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan" (QS. At Taubah 20).

Namun demikian Rasulullah saw. membiarkan sebagian orang mukmin tetap tinggal di kota Mekkah seperti Nu'aim an Nuhham r.a. yang ketika mau berhijrah dicegah oleh kaumnya. Mereka meminta agar Nu'aim tetap tinggal di antara mereka --lantaran beliau biasa menanggung kehidupan para janda dan anak yatim-- dan menjamin keamanannya dan membiarkan dia menampilkan agamanya.

Selanjutnya, bagi kaum muslimin yang tidak terancam dan tidak diganggu keberadaannya di negeri-negeri di luar Khilafah Islamiyyah -- baik negeri Islam maupun negeri kufur-- dan mampu melakukan perubahan keadaan negeri tersebut dari darul kufur menjadi darul Islam, yakni menggabungkan negeri tersebut dengan negeri Khilafah Islamiyah sehingga wujud negara khilafah Islamiyyah itu secara riil merupakan negara internasional, maka hukumnya justru haram bagi dia meninggalkan negeri tersebut sekalipun untuk menuju negeri khilafah. Sebab, tempat itu merupakan medan perjuangan baginya bagaikan dia berada di perbatasan dengan negeri kufur dan siap bertemu dengan tentara kufur yang siap memerangi mereka, maka haram baginya meninggalkan medan pertempuran sekalipun dia kembali ke ibukota Khilafah Islamiyyah.

Ketiga, hijrah dalam arti berpindah dari darul kufur ke darul Islam baru akan dapat terlaksana bila ada Khilafah Islamiyyah. Oleh sebab itu, tegaknya Khilafah tersebut tidak dapat ditawar-tawar.

Khilafah,Solusi Problematika Kaum Muslimin

Segala macam krisis yang menimpa kaum muslimin di berbagai negeri Islam, krisis ekonomi, krisis politik, krisis sosial, krisis keamanan, dan lain-lain, tak akan bisa dipecahkan tanpa mengembalikan hukum-hukum Islam sebagai pengatur kehidupan dan pemecahan masalah umat manusia. Sebagai penguasa, seorang muslim dituntut terikat dengan firman Allah:

"Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu". (QS. Al-Maaidah 48).

Sebagai rakyat, mereka dituntut bertahkim (meminta keputusan hukum) kepada hukum yang diputuskan oleh Rasulullah saw. Allah berfirman:

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (QS. An-Nisaa' 65).

Bahkan kaum muslimin dituntut untuk meninggalkan hukum-hukum selain hukum Allah SWT yang disebut oleh Al Qur'an sebagai hukum Thaghut. Allah SWT berfirman:

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan sejauh-jauhnya" (QS. An Nisa 60).

Padahal, semua itu baru akan terlaksana dengan adanya Khilafah Islamiyyah 'ala minhajin nubuwwah. Oleh karena itu, berdasarkan kaidah syara': "Sesuatu yang suatu kewajiban tidak bisa dilaksanakan kecuali dengannya maka sesuatu itu hukumnya wajib", menegakkan negara Khilafah Islamiyyah yang bersifat internasional merupakan kewajiban seluruh kaum muslimin di seluruh dunia, penguasa ataupun rakyat.

Khatimah

Hijrah Nabi Muhammad saw. adalah peristiwa historis sekaligus hukum yang telah mengubah keadaan kaum muslimin dari kondisi tertindas menjadi kondisi sentausa dengan tegaknya suatu masyarakat baru yang didasari hukum-hukum Islam sebagai pemecah problematikanya. Untuk itu, momentum hijrah adalah momentum kembalinya hukum Islam dalam negara Khilafah Islamiyyah yang menaungi kaum muslimin di seluruh dunia. Allah SWT berfirman:

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik" (QS. An Nuur 55).