Jumat, 17 Oktober 2008

waspadalah

Waspadailah Upaya Meliberalkan Ajaran Islam


Beberapa waktu yang lalu kaum Muslim dikejutkan dengan berita penyelenggaraan ibadah shalat Jumat di sebuah gereja di Amerika. Imam dan khatibnya seorang perempuan bernama Aminah Wadud. Makmumnya laki-laki dan perempuan. Mereka berada pada shaf yang sama, tanpa pembatas. Jamaah perempuan mengenakan kerudung dan baju potongan. Ada juga perempuan yang sekaligus menjadi muazinnya, yang hanya mengenakan baju atasan dan celana panjang, dengan rambut tanpa penutup.
Sebelumnya, berbagai lembaga keislaman di sana menolak, bahkan ada yang berunjuk rasa. Karenanya, tempat pelaksanaannya dirahasiakan, baru diberitahukan secara umum pada menit-menit terakhir menjelang pelaksanaan. Bagaimana sebenarnya duduk perkara masalah ini?
Tinjauan Hukum Islam
Berkaitan dengan kasus tersebut, dalam tinjauan hukum Islam ada beberapa hal yang penting untuk didudukkan. Pertama, hukum perempuan menjadi imam shalat bagi jamaah laki-laki. Ada satu Hadis Nabi saw. yang berkaitan dengan Ummu Waraqah. Disebutkan bahwa:
«وَأَذِنَ لَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا»
Nabi saw. mengizinkannya (Ummu Waraqah) untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya. (HR Abu Dawud).
Hadis ini bersifat umum. Jika hanya hadis ini saja yang digunakan, mungkin saja ada yang memahami bahwa perempuan boleh menjadi imam bagi penghuni rumahnya (termasuk laki-laki). Namun, ada hadis lain yang menyatakan:
«وَأَذِنَ لَهَا أَنْ تَؤُمَّ نِسَاءَ أَهْلِ دَارِهَا»
Nabi saw. mengizinkannya (Ummu Waraqah) untuk menjadi imam bagi kaum wanita penghuni rumahnya. (HR ad-Daruquthni).
Dalam hadis tersebut dinyatakan, bahwa yang diizinkan untuk diimami wanita itu adalah kaum wanita juga. Hal ini lebih ditegaskan oleh sabda Nabi saw.:
«لاَتَؤُمَنَّ المَرْأَةُ رَجُلاً»
Hendaknya tidak sekali-kali wanita menjadi imam bagi laki-laki. (HR. Ibn Majah).
Berdasarkan kaidah ushul fikih, "I'mâl ad-dalîlayn awlâ min ihmâl ahadihimâ (Menggunakan dua dalil adalah lebih baik ketimbang mengabaikan salah satunya)," maka semua dalil di atas harus disatukan. Artinya, sekalipun hadis pertama bersifat umum, keumuman tersebut dijelaskan oleh hadis lainnya bahwa wanita boleh menjadi imam jika makmumnya hanya wanita. Berdasarkan hal ini, pendapat yang membolehkan wanita menjadi muazin dan imam shalat bagi kaum pria merupakan pendapat yang lemah dan tidak bisa digunakan sebagai pijakan.
Kedua, mengenai hukum wanita menjadi imam/khatib Jumat. Secara umum hal itu harus dikembalikan pada status hukum shalat Jumat itu sendiri bagi kaum wanita. Bagi wanita, shalat Jumat jelas tidak wajib; kewajiban tersebut telah ditetapkan oleh Islam hanya untuk kaum pria. Nabi saw. bersabda:
«اَلْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةٍ عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ أَوْ اِمْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيْضٌ»
Jumat itu merupakan hak yang diwajibkan kepada setiap Muslim dalam suatu jamaah, kecuali terhadap empat orang: budak yang dimiliki (tuannya), kaum wanita, anak-anak, atau orang yang sakit. (HR Abu Dawud).
Sementara itu, khutbah dalam shalat Jumat merupakan salah satu rukun yang telah disepakati kewajibannya oleh para fukaha. Umumnya para fukaha mengaitkan status khatib dengan imâmah shalat Jumat. Artinya, orang yang layak menjadi imam shalat Jumat, dialah yang juga layak menjadi khatib. Dengan kata lain, hanya kaum prialah yang layak menjadi imam/khatib shalat Jumat, yang notabene seluruh jamaahnya adalah kaum pria, karena memang shalat jamaah Jumat tersebut hanya wajib bagi kaum pria.
Di sisi lain, selama masa Rasulullah saw. kaum perempuan menutup aurat mereka, kecuali muka dan telapak tangan; shafnya pun dipisahkan dari laki-laki. Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dilakukan oleh Aminah Wadud yang berpaham liberal itu dalam melakukan ibadah shalat Jumat tersebut tidak berasal dari syariat Islam.
Tinjauan Politik
Apakah pelaksanaan shalat Jumat seperti yang dipromosikan Aminah Wadud didasarkan pada upaya pelaksanaan aturan Islam? Jawabannya jelas: Bukan! Hal ini ditunjukkan oleh banyak realitas.
Pertama, secara umum telah diketahui bahwa kaum liberal dikenal sebagai para penentang syariat Islam. Bahkan, ada pentolan kaum liberal di Indonesia yang mengatakan shalat Jumat tidak wajib. Di sisi lain, peserta ’Jumatan’ saat itu hanya 100 orang. Pelaksanaannya diumumkan, tetapi tempatnya dirahasiakan, dan baru diumumkan menjelang pelaksanaan. Pelaksanaan acara tersebut lalu diberitakan secara besar-besaran oleh media Barat, seperti CNN Amerika dan BBC Inggris, yang dikutip oleh media massa Indonesia. Karena itu, aktivitas tersebut tidak boleh dipandang selain sebagai upaya propaganda terbuka untuk menentang syariat Islam yang telah dilaksanakan terus-menerus lebih dari 1400 tahun.
Kedua, aktivitas itu hanya dilakukan saat itu. Kalau mereka konsisten, sejatinya mereka akan menuntut agar shalat Jumat diwajibkan bagi perempuan, bukan sekadar menjadi imam/khathib. Lebih dari itu, jika mereka memang konsisten menuntut kesamaan dengan kaum laki-laki, mengapa mereka tidak menuntut agar kewajiban memberi nafkah diwajibkan atas perempuan; tidak menuntut agar shalat tetap diwajibkan bagi perempuan sekalipun sedang haid atau nifas; tidak menuntut apa saja yang diwajibkan atas laki-laki agar diwajibkan pula atas perempuan? Aminah Wadud sendiri menegaskan, bahwa aktivitas itu dilakukan hanya untuk menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan itu sama.
Jelaslah bahwa aktivitas ini hanyalah salah satu cara yang dipilih untuk mempromosikan liberalisme (kebebasan) dan meninggalkan aturan Islam dalam kaitannya dengan hubungan pria dan wanita. Semangat aksi tersebut bukan untuk mempraktikkan Islam, seberapa pun kecil dan lemah argumentasinya. Namun, tujuannya adalah untuk mempertontonkan arogansi (kesombongan) feminisme, dengan menjadikan ide feminisme sebagai sumber dan logika hukum.
Serangan Peradaban Barat
Setelah negara-negara Barat sekular gagal melenyapkan Islam ideologis dari tubuh kaum Muslim dengan cara militer dan politik, mulailah mereka melakukan serangan peradaban. Liberalisme (kebebasan), salah satu pilar peradaban Barat, lalu dicekokkan ke dalam tubuh kaum Muslim. Lalu mulailah mereka berupaya menyimpangkan akidah dan syariat Islam dengan senjata liberalisme pemikiran. Itulah sebabnya, mengapa upaya meliberalkan ajaran Islam dimulai dan dipelopori oleh dunia Barat seperti Amerika, lalu diikuti oleh para pengikutnya di Dunia Islam.
Upaya Barat untuk meliberalkan Islam ditempuh, misalnya, dengan cara menafsirkan Islam dengan menggunakan kacamata peradaban Barat seperti pluralisme dan feminisme (emansipasi). Berdasarkan pluralisme ini muncullah paham bahwa semua agama sama; semuanya merupakan jalan menuju Tuhan yang satu. Karenanya, disatukanlah agama Islam dengan peribadatan Kristen. Ibadah Jumat pun diadakan di gereja. Yang perlu dicermati, mengapa acara itu diizinkan diadakan di gereja, padahal bukankah dalam Kristen pun tidak pernah dikenal pastor perempuan?
Dalam kaitannya dengan paham feminisme, laki-laki dan perempuan hendak disamakan. Berdasarkan cara pandang ini lahirlah pendapat seperti: perempuan tidak perlu memakai kerudung dan jilbab, berpakaian saja seperti laki-laki; kalau laki-laki dapat shalat dengan mengenakan kemeja dan celana panjang, perempuan pun bisa; pemisahan laki-laki dan perempuan dalam shaf tidak adil, karenanya campur-baur shaf ketika shalat harus dilakukan; jika laki-laki boleh menjadi imam, perempuan pun mampu melakukannya. Begitu seterusnya.
Padahal Allah SWT telah membebankan hukum syariat kepada manusia sama, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka sama-sama diperintahkan memiliki akidah yang lurus, shalat, dakwah, haji, mengoreksi penguasa, dan terikat dengan hukum syara lainnya. Balasan yang akan diterima pun sama. Ketika terdapat hukum yang dibebankan atas laki-laki dan perempuan berbeda, itu adalah jalan menuju penyelesaian problematika manusia. Ingatlah, Allah SWT lebih tahu atas manusia daripada manusia itu sendiri.
Dalam ’perbedaan bentuk hukum’ ini kesamaannya terletak pada nilai amal di sisi Allah SWT. Sebagai contoh: laki-laki yang mencari nafkah mendapatkan pahala, dan perempuan yang menjadi ibu dan pengatur rumahtangga juga mendapatkan pahala; perempuan yang shalat di shaf belakang juga memiliki nilai yang sama di sisi Allah dengan laki-laki yang shalat di shaf depan. Perbedaan seperti itu tidak berarti menunjukkan perbedaan derajat, melainkan menunjukkan perbedaan peran yang diberikan oleh Allah Yang Mahatahu.
Cara pandang inilah yang tidak dimiliki Barat. Ideologi dan peradaban Barat yang menjadi jiwa kaum liberal memang gagal memahami hubungan laki-laki dan perempuan tersebut. Akibatnya, ketika Islam diterawang dengan kacamata peradaban Barat, maka hukum-hukum Islam dipelintir atau dicocok-cocokkan dengan Barat, bahkan akhirnya diinjak-injak.
Demikianlah, jika umat Islam tidak menjaga ajaran Islam maka proses pelenyapan hukum Islam—hingga hukum shalat sekalipun—oleh musuh Islam akan terus berlangsung. Rasulullah saw. bersabda:
«لَيُنْقَضَنَّ عُرَى اْلإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ»
Sungguh, akan terlepas aturan dan syiar Islam ('ura al-Islâm) sehelai demi sehelai. Ketika terlepas suatu aturan, manusia akan bergantung pada aturan berikutnya. Awal dari ’ura al-Islâm tersebut adalah hukum/pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat. (HR Ahmad).
Khatimah
Kaum Muslim telah diingatkan oleh Nabi saw. bahwa suatu ketika akan ada para penyeru ke neraka dengan menggunakan bahasa agama. Ketika hal ini muncul seperti sekarang, maka umat Islam diperintahkan meninggalkan mereka serta berpegang pada Islam dan pemimpin kaum Muslim (Imam/Khalifah). Jika Imam/Khalifah tidak ada, umat Islam wajib untuk terus berjuang mengembalikannya. Sebab, hanya Imam/Khalifahlah yang akan dapat menjaga dan memelihara Islam dan hukum-hukumnya dari berbagai serangan orang-orang kafir musuh-musuh Islam. Allâhu akbar! []

Tidak ada komentar: