Sabtu, 18 Oktober 2008

Pendidikan


Metode Pendidikan Rosulullah


Era globalisasi seakan tidak bisa dibendung lajunya memasuki setiap sudut negara dan menjadi sebuah keniscayaan. Era ini menghendaki setiap negara beserta individunya harus mampu bersaing satu sama lain baik antar negara maupun antar individu. Persaingan yang menjadi esensi dari globalisasi tak jarang memiliki pengaruh dan dampak yang negatif pula jika dicermati dengan seksama. Pengaruh yang ada dari globalisasi pada aspek kehidupan meskipun awal tujuannya diarahkan pada bidang ekonomi dan perdagangan serta memberikan dampak multidimensi. Globalisasi memang menjadi lokomotif perubahan tata dunia yang tentu saja akan menarik gerbong-gerbongnya yang berisi budaya, pemikiran maupun materi.Bidang pendidikan pun juga tidak luput dari efek yang ditimbulkan dari globalisasi. Isu yang digulirkan untuk pendidikan adalah kompetensi bagi setiap individu yang terlibat dalam proses pendidikan maupun keunggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh institusi pendidikan. Jika dilihat sekilas, muatan nilai yang terdapat dalam agenda globalisasi nampak universal dan tidak memiliki dampak negatif. Namun jika ditelaah standard kompetensi dan keunggulan kompetitif yang seperti apa inilah yang perlu dicermati dengan seksama.
Faktanya, standard tersebut tampak di permukaan ditentukan oleh dunia internasional melalui lembaga internasional semacam UNESCO atau yang sejenis dan menjadi sebuah kesepakatan dunia, akan tetapi ada sisi gelap yang belum terkuak yaitu pihak perumus standard tersebut adalah negara Eropa dan Amerika. Bagi kalangan masyarakat awam, kedua kawasan (Eropa dan Amerika) tersebut masih relevan menjadi kiblat peradaban modern dan mapan. Dikatakan demikian karena penampakan yang ada dan diopinikan dengan sistematis bahwa Amerika dan Eropa telah berhasil menjadi negara yang unggul dibandingkan negara lainnya dan menampakkan gambaran kesejahteran dan kemakmuran yang dirasakan oleh setiap orang yang berada di kawasan tersebut.
Pandangan akan kemilau keberhasilan Amerika dan Eropa membangun peradaban modernnya yang didalamnya juga terdapat pola pendidikan diasumsikan terbaik tidak hanya bagi masyarakat awam. Negara-negara di dunia ketiga yang notabene banyak diantaranya adalah negeri-negeri muslim silau dengan keberhasilan pendidikan di kedua kawasan tersebut dan menjadikannya benchmark / patokan untuk pengembangan pendidikan di negaranya masing-masing.
Perlu diketahui bersama, sisi gelap dalam pola pendidikan yang dirumuskan oleh Amerika dan Eropa yaitu tidak adanya muatan nilai ruhiyah, dan lebih mengedepankan logika materialisme serta memisahkan antara agama dengan kehidupan yang dalam hal ini sering disebut paham Sekulerisme. Implikasi yang bisa dirasakan namun jarang disadari adalah adanya degradasi moral yang dialami oleh anak bangsa. Banyak kasus buruk dunia pendidikan yang mencuat di permukaan dimuat oleh beberapa media massa cukup meresahkan semua pihak yang peduli terhadap masa depan pendidikan bangsa yang lebih baik.
Ambillah contoh, baru-baru ini seluruh pelajar SMA di Indonesia melangsungkan Ujian Akhir Nasional. Standard kelulusan yang ditetapkan Mendiknas tiap tahunnya dinaikkan mulai dari 3,00 pada tahun 2003 hingga 5,25 pada 2008 ini. Penetapan standard ini sebagai implementasi penyetaraan kompetensi pelajar Indonesia dengan pelajar Internasional. Tapi di tataran praktik, banyak terjadi fenomena paradoks dan fakta yang ironis. Seperti anak yang dikenal pintar ternyata tidak lulus UAN dengan berbagai alasan, belum lagi variasi kecurangan selama UAN berlangsung yang ternyata tidak dominasi pelajar tapi juga sampai pada jajaran guru dan sekolah untuk mengelabui dan mengejar standard kelulusan.(JawaPos, 23/04/2008)
Juga, Indonesia diketahui sebagai negara pada urutan ketujuh dunia sebagai negara pengakses situs-situs porno. Lebih jauh lagi, dibahas didalamnya ternyata sebagai pengakses situs porno dari Indonesia dari kalangan pelajar. Prosentase terbesar diduduki oleh pelajar SMA sejumlah 38% diikuti oleh mahasiswa sebesar 33,6% dan ternyata dari kalangan siswa SMP juga menjadi pengakses situs porno17,3% sisanya sebesar 11% ditempati oleh masyarakat non pelajar.
Kasus parah lainnya yang tampak sebagai indikator degradasi moral dalam pandangan umum adalah tawuran yang sering dilakukan di kalangan pelajar ternyata juga merambah di kalangan mahasiswa. Padahal jika memandang secara idealnya, seharusnya semakin tinggi jenjang pendidikan yang dilalui oleh anak didik semestinya yang bersangkutan mengedepankan etika dan logika-rasional akademisi. Maksudnya mahasiswa sebagai insan pendidikan yang menjalani jenjang tertinggi tidak seharusnya terbawa emosi sehingga berujung pada tawuran. Peristiwa yang sering terjadi di kota Jakarta, maupun Makassar, Medan, Palu itu yang tampak, mungkin akan banyak lagi yang belum terjangkau liputan media massa sehingga tidak tampak di permukaan.
Beberapa contoh kasus diatas merupakan efek negatif dari pola pendidikan yang diadopsi Indonesia dari negara acuannya yaitu Eropa dan Amerika. Dikatakan berefek negatif karena ditinjau secara kebijakan makro, pendidikan Barat tidak lepas dari kerangka berpikir pada ideologi kapitalisme. Padahal sudah banyak dikupas habis banyaknya kelemahan dan keburukan pada ideology kapitalisme sebagai buah tangan manusia. Sedangkan jika ditinjau secara mikro, permasalahan tidak adanya link and match antara materi yang didapatkan di bangku sekolah dengan realitas yang ada di lapangan. Sehingga anak didik sering mengalami kebingungan sesuai menyelesaikan masa studi dan mulai memasuki masyarakat. Lulusan institusi pendidikan belum sempat menentukan langkah sudah tenggelam dengan hiruk pikuknya tata kehidupan materialistik.
Selain itu, esensi materi pendidikan yang distandardisasi (baca : ditiru) dari Barat bermuatan budaya dan pemikiran yang tidak sesuai dengan syari’at Islam. Indikasi yang bisa dijumpai, masih diajarkannya teori evolusi Darwin tanpa diimbangi dengan pemahaman Islam terhadapnya. Hukum kekekalan massa pada fisika yang juga semestinya dinilai secara kritis dalam pandangan Islam oleh gurunya. Belum lagi pelajaran yang berkaitan dengan sosial-ekonomi yang bisa dikatakan sekitar 85% tidak sesuai dengan Syari’at Islam. Ditambah lagi mata pelajaran agama yang diajarkan di sekolah maupun pendidikan tinggi cuma +2 jam dalam seminggu. Itupun materi ajarnya ‘menjenuhkan’ artinya dari mulai Sekolah Dasar hingga Pendidikan Tinggi pembahasannya berputar permasalahan ibadah mahdloh seputar thoharoh, sholat dan shuam. Sedangkan permasalahan interaksi manusia (muamalat) hampir tidak ada sama sekali.
Derasnya serangan tsaqofah Barat seperti sikap hedonistik dengan implikasinya berupa gaya hidup hura-hura, konsumeristik, rakus, boros, cinta mode, pergaulan bebas, individualistik, kebebasan yang salah arah dan lepas kendali serta tampilan pada anak didik sebagai generasi permisif dan anarkis yang telah disebutkan diatas secara eksplisit wujudnya. Serangan tersebut berakibat pada pengaruh dan peran pendidik umat (guru) menurun drastic sehingga pendidik umat secara perlahan-lahan kehilangan kewibawaan dan keteladanan di tengah-tengah anak didik.
Akhirnya kita dihadapkan pada perkara inti yaitu bagaimana gambaran pola pendidikan Islam ? bagaimana pula sosok pendidik umat yang dibutuhkan untuk membangun kepribadian Islam pada anak didik kaum muslimin?. Pertanyaan ini akan mudah untuk dijawab jika kita memiliki pedoman yang jelas dan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah serta ber-azzam (bertekad kuat) untuk menggali dan mengeksplorasi khazanah Islam sebagai fundamendal pendidikan generasi muda yang handal. Karena sungguh didalam Al-Qur’an Sunnah telah dijelaskan dengan mendalam segala aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan. Maka dari itu penulis mencoba akan menguraikan pada penjelasan berikut ini.
ARAH DAN PILAR PENDIDIKAN ISLAM
Kerusakan yang lama ada pada pola pendidikan di negara Barat sepatutnya ditinggalkan oleh kaum muslimin. Kerusakan tersebut timbul dikarenakan tidak adanya muatan ruhiyah dalam penelitian dan pengembangan sains dan teknologinya. Sehingga dampak yang bisa dirasakan, pola pendidikan tersebut menghasilkan output berpikir dan bersikap berdasarkan pada prinsip materialisme dengan menanggalkan prinsip syari’at Islam. Dari sinilah problem sosial kemasyarakatan muncul dan kerusakan tatanan kehidupan. sebagaimana telah disitir dalam ayat berikut ini
“ Telah nyata kerusakan didaratan dan dilautan oleh karena tangan – tangan manusia “. (Ar- Rum : 41).
Segala urusan dunia jika solusinya diserahkan pada hasil pemikiran manusia tanpa melibatkan hukum-hukum Allah didalamnya, maka solusi tersebut tidak bisa menuntaskan masalah. Sehingga yang terjadi adalah fenomena tambal sulam ataupun gali lubang, tutup lubang atas masalah yang ada. Maka dari itu jika ingin menyelesaikan masalah tanpa masalah termasuk pendidikan harus berujung pangkal pada Islam.
Islam diturunkan Allah SWT melalui Rasulullah Muhammad tidak sekadar melakukan perbaikan akhlaq. Namun lebih jauh lagi, turunnya Islam menjadi penyempurna dari semua agama yang ada dan memuat semua tata aturan kehidupan secara paripurna. Islam menjelaskan aturan mulai dari masuk kamar mandi hingga masuk parlemen, mulai dari menegakkan sholat hingga menegakkan Negara Islam. Demikian pula, Islam menjelaskan secara total bagaimana kaidah pendidikan sesuai dengan Khitab As-Syaari’. Jadi sangat disayangkan jika kaum muslimin berpaling dari Islam malah meniru total pendidikan ala Barat karena silau dengan kemajuannya.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqoroh : 208)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata”(QS.Al-Ahzab : 36)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS.An-Nisa’: )
Sepanjang sejarah dunia, Islam telah terbukti mampu membangun peradaban manusia yang khas dan mampu menjadi pencerah serta penerang hampir seluruh dunia dari masa-masa kegelapan dan kejayaannya +13 abad lamanya. Factor paling menentukan atas kegemilangan Islam membangun peradaban dunia adalah keimanan dan keilmuannya. Tidak ada pemisahan ataupun dikotomi atas kedua factor tersebut dalam pola pendidikan yang diterapkan. Sehingga generasi yang dihasilkan juga tidak diragukan kehandalannya hingga kini.
Sebut saja tokoh Ibnu Sina sebagai sosok yang dikenal peletak dasar ilmu kedokteran dunia namun beliau juga faqih ad-diin terutama dalam hal ushul fiqh. Masih ada tokoh-tokoh dunia dengan perannya yang penting dan masih menjadi acuan perkembangan sains dan teknologi berasal dari kaum muslimin yaitu Ibnu Khaldun(bapak ekonomi), Ibnu Khawarizm (bapak matematika), Ibnu Batutah (bapak geografi), Al-Khazini dan Al-Biruni (Bapak Fisika), Al-Battani (Bapak Astronomi), Jabir bin Hayyan (Bapak Kimia), Ibnu Al-Bairar al-Nabati (bapak Biologi) dan masih banyak lagi lainnya. Mereka dikenal tidak sekadar paham terhadap sains dan teknologi namun diakui kepakarannya pula di bidang ilmu diniyyah.
Kalau begitu pola pendidikan seperti apa yang mampu mencetak generasi islam berkualitas sekaliber tokoh-tokoh dunia tersebut? Penting kiranya menyatukan persepsi tentang pendidikan sesuai kaidah Syara’. Hakekat pendidikan adalah proses manusia untuk menjadi sempurna yang diridhoi Allah SWT. Hakikat tersebut menunjukkan pendidikan sebagai proses menuju kesempurnaan dan bukannya puncak kesempurnaan, sebab puncak kesempurnaan itu hanyalah ada pada Allah dan kemaksuman Rasulullah SAW. Karena itu, keberhasilan pendidikan hanya bisa dinilai dengan standar pencapaian kesempurnaan manusia pada tingkat yang paling maksimal. Setelah diketahui hakikat pendidikan maka berikutnya bisa dirumuskan tujuan dari pendidikan Islam yang diinginkan yaitu :
Membangun kepribadian islami yang terdiri dari pola piker dan pola jiwa bagi umat yaitu dengan cara menanamkan tsaqofah Islam berupa Aqidah, pemikiran, dan perilaku Islami kedalam akal dan jiwa anak didik. Karenanya harus disusun dan dilaksanakan kurikulum oleh Negara.
Mempersiapkan generasi Islam untuk menjadi orang ‘alim dan faqih di setiap aspek kehidupan, baik ilmu diniyah (Ijtihad, Fiqh, Peradilan, dll) maupun ilmu terapan dari sains dan teknologi (kimia, fisika, kedokteran, dll). Sehingga output yang didapatkan mampu menjawab setiap perubahan dan tantangan zaman dengan berbekal ilmu yang berimbang baik diniyah maupun madiyah-nya.
Kedua tujuan dari pola pendidikan Islam bisa terlaksana jika ditopang dengan pilar yang akan menjaga keberlangsungan dari pendidikan Islam tersebut. Pilar penopang pendidikan Islam yang dibutuhkan untuk bekerja sinergis terdiri dari :
Keluarga
Dalam pandangan Islam, keluarga merupakan gerbang utama dan pertama yang membukakan pengetahuan atas segala sesuatu yang dipahami oleh anak-anak. Keluarga-lah yang memiliki andil besar dalam menanamkan prinsip-prinsip keimanan yang kokoh sebagai dasar bagi si anak untuk menjalani aktivitas hidupnya. Berikutnya, mengantarkan dan mendampingi anak meraih dan mengamalkan ilmu setingggi-tingginya dalam koridor taqwa. Jadi keluarga harus menyadari memiliki beban tanggung jawab yang pertama untuk membentuk pola akal dan jiwa yang Islami bagi anak. Singkatnya, keluarga sebagai cermin keteladanan bagi generasi baru. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda :
كلّ مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصّرانه أو يمجّسانه
“Setiap anak dilahirkan atas fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak itu beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)
رضى الرّبّ في رضى الوالدوسخط الرّبّ في سخط الولد
“Ridho Tuhan terletak pada ridho orang tua, demikian juga kemurkaan Tuhan terletak pada kemurkaan orang tua.” (HR.Al-Bukhori no.6521)
Masyarakat
Pendidikan generasi merupakan aktivitas yang berkelanjutan tanpa akhir dan sepanjang hayat manusia. Oleh karena itu, pola pendidikan Islam tidak berhenti dan terbatas pada pendidikan formal (sekolah), namun justru pendidikan generasi Islami yang bersifat non formal di tengah masyarakat harus beratmosfer Islam pula. Kajian tsaqofah islam serta ilmu pengetahuan dan sarana penunjangnya menuntut peran aktif dari masyarakat pula. Ada beberapa peran yang bisa dimainkan masyarakat sebagai pilar penopang pendidikan generasi islami yaitu sebagai control penyelenggaraan pendidikan oleh negara dan laboratorium permasalahan kehidupan yang kompleks.
خذاالحكمة ممن سمعتموها فانه قديقول الحكمة غير الحكيم وتكون الرمية من غير رام
“Ambillah hikmah yang kamu dengan dari siapa saja, sebab hikmah itu kadang-kadang diucapkan oleh seseorang yang bukan ahli hikmah. Bukankah ada lemparan yang mengenai sasaran tanpa disengaja?” (HR. Al-Askari dari Anas ra dalam kitab Kashful Khafa’ Jilid II, h.62))
العلم ضالة المؤمن حيث وجده أخذه
Hikmah laksana hak milik seorag mukmin yang hilang. Dimanapun ia mejumpainya, disana ia mengambilnya (HR. Al-Askari dari Anas ra)
Madrasah
Tempat untuk mengkaji keilmuan lebih intensif dan sistematis terletak pada Madrasah. Semasa Rasulullah SAW, masjid-masjid yang didirikan kaum muslimin menjadi lembaga pendidikan formal bagi semua manusia. Didalamnya tidak semata-mata membahas ilmu diniyah, namun juga ilmu terapan. Rasulullah menjadikan masjid untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam, tapi penyusunan strategi perang pun juga seringkali dilakukan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabat didalam masjid. Sedangkan dimasa modern saat ini pendidikan bisa dialihkan yang semula masjid ke tempat dengan fasilitas yang menunjang dalam proses pembelajaran lebih efektif baik itu sekolah maupun perguruan tinggi. Hal ini sah-sah saja dan tidak bisa dianggap sebagai upaya memisahkan anak didik dari masjid.
Peradaban Islam mengalami puncak kegemilangan pada saat Bani Abbasiyah memegang tampuk kekuasaan dalam system pemerintah Khilafah Islamiyah. Sepanjang pemerintahan Khilafah Abbasiyah, perhatian sangat besar diberikan pada pengembangan ilmu pengetahuan dengan pola pendidikan islami. Sejarah mencatat berdirinya Bait Al-Hikmah sebagai madrasah dengan jenjang pendidikannya yang sistematis. Bait Al-Hikmah dibangun oleh Khalifah Al-Ma’mun yang dikenal sebagai khalifah pencinta ilmu pengetahuan. Dari Bait Al-Hikmah inilah lahir tokoh-tokoh muslim ternama yang telah disebutkan sebelumnya. Juga Bait Al-Hikmah lah menjadi mercusuar ilmu pengetahuan yang didatangi oleh semua orang dari segala penjuru dunia termasuk Barat. Dan munculnya Renaissance di Eropa terjadi setelah banyak orang Eropa menggali ilmu pengetahuan dari bait Al-Hikmah.
Sistematika pendidikan islam yang bisa diterapkan dalam madrasah dikelompokkan secara berjenjang (marhalah) yang harus memperhatikan fakta anak didik di setiap tingkatan. Tentunya bobot yang diberikan disetiap tingkatan memiliki komposisi yang berbeda namun proporsional. Sedangkan keberhasilan sistematika pendidikan islami yang ada pada madrasah tergantung pada para tenaga pendidiknya. Perkembangan sikap dan pemahaman yang terdapat pada anak didik merupakan tanggung jawab terbesar pada para tenaga pendidik. Lebih dari itu, syakhsiyah Islamiyah yang dicita-citakan pada anak didik menjadi sempurna apabila para tenaga pendidiknya lebih dahulu memiliki syakhsiyah islamiyah tersebut dan mampu meningkatkan secara berkelanjutan. Madrasah meletakkan harapan besar kepada para tenaga pendidik untuk memberikan proses yang tidak sekadar transfer of knowledge tapi juga cultivate of spirit and value. Maka dari itu arti guru yaitu digugu dan ditiru benar-benar bisa terlaksana dan terjaga dengan baik.
Negara
Negara sebagai pilar penopang bisa mewujudkan pola pendidikan Islami akan lebih optimal, efektif dan sempurna jika didukung dengan semua kebijakan yang dikeluarkan terhadap aspek kehidupan ini berlandaskan syari’at Islam. Peran yang bisa diambil oleh Negara dalam mewujudkan pola pendidikan Islami diantaranya :
Menyusun kurikulum berdasarkan aqidah islam untuk semua institusi pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi). Filterisasi terhadap paham-paham sesat dan menyesatkan bisa dijalankan melalui standar kurikulum Islami. Sehingga harapannya tidak lagi masuk di materi sekolah tentang teori Darwin, ekonomi ribawi, serta filsafat liberal-sekuler dan lainnya yang tidak sesuai dengan Aqidah Islam.
Seleksi dan kontrol ketat terhadap para tenaga pendidik. Penetapan kualifikasi berupa ketinggian syakhsiyah islamiyah dan kapabilitas mengajar. Jika sudah didapatkan tenaga pendidikan yang sesuai kualifikasi, negara harus menjamin kesejahteraan hidup para tenaga pendidik agar mereka bisa focus dalam penelitian dan pengembangan ilmu bagi anak didik dan tidak disibukkan aktivitas mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Menyajikan content pendidikan dengan prinsip al Fikru lil Amal (Link and Match / ilmu yang bisa diamalkan). Artinya jangan sampai isi materi pendidikan tidak membumi (tidak bisa diterapkan) sehingga tidak berpengaruh dan tidak memotivasi anak didin untuk mendalaminya.
Tidak membatasi proses pendidikan dengan batasan usia dan lamanya belajar. Karena hakekat pendidikan adalah hak setiap manusia yang harus dipenuhi oleh Negara. Allah mengamanahkan penguasa negara untuk benar-benar memenuhi kebutuhan umat tanpa syarat termasuk pendidikan.
الامام راع وهو مسؤول عن رعيته
“Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya.” (HR. Ahmad, Syaikhan, Tirmidzi, Abu Dawud, dari Ibnu Umar)
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Hafidz., Membangun Kepribadian Pendidik Umat, WADI Press, 2008Ahmed, Shabir., Anas Abdul Muntaqim., Abdul Satar., Islam dan Ilmu Pengetahuan, Penerbit Al-Izzah, 1999
Al-Baghdadi, Abdurrahman., Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, Penerbit Al-Izzah, 1996
Asari, Hasan., Menyingkap Zaman Keemasan Islam : Kajian Atas Lembaga-Lembaga Pendidikan, Mizan, 1994
Hizbut Tahrir Indonesia, Membangun Generasi Berkualitas Dengan Perspektif Islam, 2003
Hizbut Tahrir Indonesia, Generasi Cerdas, Generasi Peduli Bangsa : Solusi Tuntas Krisis Kepemimpinan, Proceedings Lokakarya Pendidikan Nasional, Jakarta, 2004
Lukman, H. Fahmy. Syariat Islam dalam Kebijakan Pendidikan, www.icmimuda.org, 2006
Yasin, Abu., Strategi Pendidikan Negara Khilafah, Pustaka Thariqul Izzah, 2004

Tidak ada komentar: